Ahmad ibn Isa Dimakamkan di Bashrah (Bukan Husaisah)?

Seberapa akurat telaah itu?

Rumail Abbas
8 min readJan 9, 2024
Makam Sayid Ahmad ibn Isa yang berada di Husaisah, Yaman (Sumber: Sanad Media)
Makam Sayid Ahmad ibn Isa yang berada di Husaisah, Yaman (Sumber: Sanad Media)

Saya barusan mendengar dialog di TikTok antara tiga orang, dan salah satunya dikenal sebagai bahits (pelacak) yang bersepakat dengan penulis produktif asal Banten bahwa genealogi klan Baalawi tidak memiliki sumber historis yang bersambung sejak Imam Alwi ibn Ubaidillah (w. 400/410 H.).

Dalam durasi kurang dari tiga menit tersebut, kebetulan diskusi ketiganya membahas reportase Al-Ubaidili (w. 435 H.), ulama nasab generasi awal setelah Abu Al-Ghana’im, yang dalam redaksi keturunan Ahmad ibn Isa mengindikasikan lokasi wafatnya di Bashrah, Irak (bukan di Husaisah, Yaman, seperti klaim klan Baalawi).

“Kenapa cuma otak-atik dlamir dan fa’il saja? Kenapa tidak ada konfrontasi dengan sumber sezaman, sih? Katanya sedang melakukan penelitian sejarah?” batin saya penasaran.

Mari saya antarkan Anda pada pemahaman yang benar dari reportase Al-Ubaidili…

Al-Ubaidili (w. 435 H.)

Ada dua nama yang direportase dalam redaksi tersebut: Ahmad ibn Isa dan Abu Ja’far Muhammad Sang Buta.

Tahdzib Al-Ansab karya Al-Ubaidili, hlm. 175–176

Dan Ahmad ibn Isa An-Naqib ibn Muhammad ibn Ali Al-Uraidli, dijuluki “An-Naffath”, di antara keturunannya ialah Abu Ja’far (Sang Buta) Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad; dia (Muhammad) buta di akhir hayatnya; dia (α) “turun” (inhidar) ke Bashrah; dia (α) menetap di sana; dia (α) wafat di sana; dia (α) memiliki keturunan; dan saudaranya (α) di gunung punya keturunan pula.

Ketiga orang yang berdialog live di TikTok tersebut memiliki persamaan persepsi, yaitu pada pengembalian “dia (α)” kepada: Ahmad ibn Isa.

Konsekuensinya, dari mafhum redaksi tersebut, Ahmad ibn Isa sebenarnya “hijrah” ke Bashrah, wafat di sana, memiliki keturunan, dan memiliki saudara di “gunung” yang berketurunan pula.

Saya pernah mendiskusikan ini dengan tokoh asal Aceh yang sempat berdebat dengan saya di Kesultanan Banten, dan bagi saya “dia (α)” seharusnya tidak dikembalikan kepada Ahmad ibn Isa, melainkan Abu Ja’far Muhammad Sang Buta.

Karena pada galibnya, dlamir dikembalikan kepada isim yang paling dekat dengannya, yang dalam redaksi tersebut seharusnya kembali kepada Abu Ja’far Muhammad Sang Buta, bukan Ahmad ibn Isa.

Tanpa bermaksud memperpanjang otak-atik dlamir dan fa’il yang pada dasarnya dibuat-buat asalkan memenuhi kaidah Nahwu yang “dipaksakan”, saya mengusulkan komparasi dengan literatur sezaman atau yang mendekati.

Namun perlu kita kantongi dulu identifikasi “dia (α)” pada reportase Al-Ubaidili:

  1. “Turun” (inhidar) ke Bashrah,
  2. Mukim di Bashrah,
  3. Wafat di Bashrah,
  4. Memiliki keturunan, dan
  5. Punya saudara di “gunung” yang berketurunan.

Pertanyaannya: menurut pakar nasab sezaman Al-Ubaidili, kelima identitas ini apakah milik Ahmad ibn Isa, ataukah milik Abu Ja’far Muhammad Sang Buta?

Karena satu orang akan konsisten dalam reportase beragam sejarawan maupun ulama nasab yang sezaman dengannya atau yang mendekati. Dan lewat pakar selain Al-Ubaidili akan mengarahkan kita kepada siyaq (konteks) kalimat dalam reportase Tahdzib Al-Ansab.

Ibn Thobathoba (w. 400 H.)

Untuk diketahui, orang yang men-tahqiq Muntaqilah Al-Thalibiyah karya Ibn Thobathoba ialah Sayid Muhammad Mahdi Al-Khurasani, ahli nasab yang tinggal di Najaf dan mencetak ulang karya ulama abad kelima tersebut berdasarkan lima macam manuskrip yang telah ia konfrontasi dengan naskah lainnya.

Lewat Muntaqilah Al-Thalibiyyah, saya dapat memberikan dua bantahan sekaligus:

Pertama, bantahan atas klaim Ahmad ibn Isa hanya memiliki anak bernama Muhammad saja, seperti klaim penulis asal Banten yang membatalkan genealogi Baalawi (Teputusnya Nasab Habib kepada Rasululah, Sub Tema: Kitab Abad Kelima Hijrah, hlm. 14–7). Karena…

Muntaqilah Al-Thalibiyah karya Ibn Thobathoba, hlm. 146

(Di Ramlah) Ali ibn Ahmad An-Naffath ibn Isa Al-Akbar ibn Muhammad Al-Akbar, anaknya: Muhammad.

Ulama nasab sezaman Al-Ubaidili mengkonfirmasi keturunan Ahmad ibn Isa selain Muhammad, yaitu Ali yang memiliki anak bernama Muhammad. Dan poin penting dalam fakta ini adalah:

Jika ada kecerobohan di dalam analisa penggugat genealogi Baalawi di sini, apakah tidak mustahil ada kecerobohan lain dalam argumen pembatalannya, kan?

Kedua, bantahan atas klaim Ahmad ibn Isa hijrah ke Bashrah, mukim di sana, wafat di sana, memiliki keturunan, dan saudaranya di “gunung” pun berketurunan.

Kerangka berpikir runutnya begini…

Muntaqilah Al-Thalibiyah karya Ibn Thobathoba, hlm. 160 (di bawahnya ialah footnote dari muhaqqiq)

(Di Ray) Muhammad ibn Ahmad An-Naffath ibn Isa ibn Muhammad Al-Akbar ibn Ali Al-Uraidli, anaknya: Muhammad, Ali (notasi: 3), dan Husain.

(Notasi: 3) Dia (Ali) adalah ayah dari Abu Ja’far Muhammad Al-Uraidli. Dia (β) pernah di Bagdad; dia (β) buta di masa tuanya; dan penulis kitab sudah menyebutkan tentangnya (β) bahwa dia (β) adalah pendatang (ke) Bashrah, dan telah dijelaskan bahwa dia (β) adalah imigran (asal) Ray.

Ada kemiripan antara “dia (α)” pada reportase Al-Ubaidili dan “dia (β)” pada reportase Ibn Thobathoba: keduanya berjulukan Abu Ja’far, namanya Muhammad, anak dari Ali, buta di usia tua, dan Ibn Thobathoba sudah menjelaskan bahwa ia adalah imigran (asal) Ray yang pindah (ke) Bashrah.

Jadi, dari sini sudah ada indikasi kuat bahwa…

Dia (α) = Dia (β) = Abu Ja’far Muhammad Sang Buta

Kendatipun ada dua nama disebutkan dalam notasi Ibn Thobathoba tersebut, namun tidak akan bisa merujuk kepada Ahmad ibn Isa karena siyaq al-kalam melibatkan dua orang saja, yaitu: Ali dan anaknya yang bernama Abu Ja’far Muhammad Sang Buta.

Ali pun bukanlah yang dimaksud Al-Ubaidili, karena yang direportase sebagai orang buta di akhir hayatnya hanyalah Abu Ja’far Muhammad, anaknya.

Konsekuensinya, “dia” yang “turun” (inhidar) ke Bashrah, menetap di sana, wafat di sana, memiliki keturunan dan saudara di gunung pun berketurunan ialah: Abu Ja’far Muhammad Sang Buta.

Penjelasan muhaqqiq tidak bertentangan dengan reportase Ibn Thobathoba berikut ini:

Muntaqilah Al-Thalibiyah karya Ibn Thobathoba, hlm. 79

(Di Bashrah) dari imigran (asal) Ray: Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad An-Naffath ibn Isa Al-Akbar ibn Muhammad Al-Akbar ibn Ali Al-Uraidli ibn Ja’far Al-Shadiq.

Menurut saya, kala Al-Ubaidili mengatakan “turun ke Bashrah” memakai kata inhidar (انحدار), maka hal ini match atau cocok dengan reportase Ibn Thobathoba yang mendapati Abu Ja’far Muhammad Sang Buta sebagai imigran Ray yang menetap ke Bashrah.

Kenapa?

Karena perjalanan dari Ray ke Bashrah adalah perjalanan turun (inhidar)!

Al-Ubaidili, sebagai ahli nasab Bashrah, memakai kata inhidar (انحدار) untuk menjelaskan “turun dari Ray ke Bashrah” berdasarkan sudut pandang orang Bashrah dalam melihat Ray dari garis datar cakrawala.

Di mata orang Bashrah, Ray berada di wilayah yang lebih tinggi darinya karena elevasinya berada pada 1.180 mdpl (meter di atas pemukaan laut).

Elevasi (ketinggian) kota Ray, Iran, dari permukaan air laut (Google Maps)

Sedangkan Bashrah, elevasinya berada di bawah Ray, yaitu pada 5 mdpl (meter di atas pemukaan laut).

Elevasi (ketinggian) kota Bashrah, Irak, dari permukaan air laut (Google Maps)

Bayangkan Anda melihat sebuah dataran jauh yang tingginya satu kilometer dari kepala Anda di arah horizon, tentu perjalanandari tempat tersebut ke lokasi Anda disebut “turun” (inhidar), kan?

Penduduk Jepara (elevasi: 800 mdpl) jika mendapati warga Gunung Muria Kudus (elevasi 1602 mdpl) berkunjung ke rumahnya, pun, memakai istilah “mudhun (turun)”. Begitupun sebaliknya, pergi ke rumah seorang kawan di Gunung Muria disebut “munggah (naik)”.

Akhirnya, reportase imigran Ray yang menetap di Bashrah tersebut menepis kemungkinan “dia (β)” adalah Ahmad ibn Isa dan Ali (1), karena yang dimaksud dengan “imigran dari Ray” hanyalah: Abu Ja’far Muhammad Sang Buta.

Al-Marwazi (w. 614 H.)

Setelah Anda memahami bahwa Al-Ubaidili bermaksud menyebutkan Abu Ja’far Muhammad Sang Buta (bukan Ahmad ibn Isa) kala dikonfrontasi dengan reportase Ibn Thobathoba, maka terpenuhi lima kecocokan…

  1. Julukan: Abu Ja’far
  2. Nama: Muhammad ibn Ali
  3. Kondisi: buta di masa tua & akhir hayat
  4. Imigran (asal) Ray
  5. Menetap di Bashrah

Namun masih menyisakan dua identifikasi yang belum terpenuhi, yaitu: memiliki keturunan, dan memiliki saudara di “gunung” yang berketurunan.

Ketika tidak ditemukan reportase tentang itu dalam Ibn Thobathoba, maka saya menemukannya pada Al-Marwazi (w. 614 H.) yang hidup di tahun 500-an Hijriyah:

Al-Fakhri fi Ansab Al-Thalibin karya Al-Marwazi, hlm. 30

(Dan di antara keturunan mereka) ialah: Abu Ja’far Muhammad Sang Buta ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad Al-Abah. Dia memiliki keturunan di Basrah, dan saudara di gunung (jabal) dan di Qum pun berketurunan.

Gunung, dalam redaksi tersebut, bisa jadi adalah Ray itu sendiri karena bagi sudut pandang orang Bashrah: Ray adalah “gunung”, seperti penjelasan sebelumnya. Atau memang jabal adalah gunung secara harfiah, maka hal ini tidak berkontradiksi dengan reportase Al-Ubaidili yang memakai kata inhidar (turun); karena bagaimanapun turun dari gunung adalah “turun” pula.

Dalam reportase Al-Marwazi di atas, orang yang memiliki saudara di “gunung” yang berketurunan bukanlah Ahmad ibn Isa (seperti yang diyakini dalam reportase Al-Ubaidili), melainkan Abu Ja’far Muhammad Sang Buta.

Maka dlamir dan fa’il yang berada dalam Tahdzib Al-Ansab bukanlah bermaksud untuk menunjukkan tempat hijrah Ahmad ibn Isa sekaligus tempat wafatnya. Namun bermaksud mereportase cicitnya yang bernama Abu Ja’far Muhammad yang buta, ia asal Ray yang berpindah ke Bashrah, wafat di sana, memiliki keturunan, dan saudaranya di “gunung” dan di Qum pun berketurunan.

Jika dua ulama nasab cum sejarawan abad kelima dan keenam mengatakan bahwa “dia” adalah Abu Ja’far Muhammad Sang Buta, agak muskil maksud dari Al-Ubaidili adalah Ahmad ibn Isa.

Kesimpulan

Klaim bahwa Ahmad ibn Isa hijrah ke Bashrah dan dimakamkan di sana berdasarkan reportase tunggal dari Al-Ubaidili adalah bentuk pencerabutan redaksi dari konteksnya (batr al-kalam ‘an siyaqihi).

Andaikan ketiga orang yang live di TikTok tersebut memiliki dzauq yang baik, atau melakukan konfrontasi dengan (minimal) dua ulama yang sezaman maupun yang mendekati Al-Ubaidili, maka…

…mereka pasti mendapati siyaq (konteks): siapakah yang dimaksud Al-Ubaidili dari “dia yang turun ke Bashrah, menetap di sana, wafat di sana, dan punya saudara di ‘gunung’ yang berketurunan”?

Tentu saja bukan Ahmad ibn Isa!

Kendatipun saya tidak membahas reportase makam Ahmad ibn Isa di Husaiah, namun paling tidak Anda sudah melihat kesembronoan dalam elaborasi (tashawwur). Bahkan lebih dari itu, Anda melihat adanya permasalaham serius dalam kajian yang dilakukan para pembatal nasab Baalawi.

Begitupun dalam kekeliruan Arab Hadlramaut atau Gharbi Hadlramaut dalam reportase Al-Maqrizi (yang kelak akan saya jelaskan, insya Allah!)

Tulisan ini didukung oleh fundraiser TrakTeer: Rumail Abbas (klik)

--

--

Rumail Abbas

Nahdliyin, Historian, GUSDURian, Peneliti Budaya Pesisiran & Resolusi Konflik untuk GUSDURian & Yayasan Rumah Kartini