Ambivalensi Penggugat Baalawi

Satu orang yang punya dua pertentangan dalam dirinya.

Rumail Abbas
7 min readFeb 6, 2024
Mukadimah dalam naskah Sirah Ibn Ishaq yang “direvisi” Ibn Hisyam

Prolog

Disebut ambivalen karena bercabang dua dan saling bertentangan. Padahal, orangnya cuma satu, yaitu: Kiai ‘Imaduddin Utsman (selanjutnya disebut: Penggugat Baalawi).

Jika dilakukan sekali-dua, mungkin bisa disebut kebetulan. Namun jika dilakukan terus-terusan, tentunya ia disebut pola.

Ambivalensi yang dilakukan terus-menerus berarti sudah menjadi pilihan bulat. Dan karena keputusan itu tak kunjung ia ubah, mungkin saja ia sudah menjadi watak.

Tulisan ini disusun untuk merespon catatan berjudul “Mengakui Nasab Ba’Alwi Bukti Ustadz Idrus Ramli Dan Rumail Abbas Tidak Berakhlak Kepada Rasulullah” yang diunggah di situs Banom Nahdlatul Ulama cabang Banten yang seharusnya membicarakan kurikulum pesantren, namun bergeser setahun terakhir menjadi situs kajian nasab (Banu Alawi).

Bahkan situs Banom NU ini menampung tulisan-tulisan dusta dan tak masuk akal dari seorang KRT berkali-kali (nanti akan saya buktikan).

Ambivalensi #1

Sumber-sumber muslim, selain Alquran, memang ditulis belakangan. Sekadar contoh, saya menyebut Kitab Sirah tertua ialah Sirah Nabawiyah yang ditulis oleh Ibn Ishaq yang wafat pada tahun 150 Hijriyah.

Saya bisa menjelaskan dengan rinci tentang hal ini pada kesempatan lain, namun sirah Ibn Ishaq saya hadirkan untuk mengetahui motif dari “Sumber Sezaman” yang selalu didengungkan Penggugat Baalawi.

Namun, dalam pembelaannya atas Sirah Ibn Ishaq tersebut, Penggugat Baalawi memberikan uraian begini…

Pada usia 20 tahun, Ibn Ishaq sudah berinteraksi dengan banyak sahabat. Usia dimana seseorang sudah dianggap matang dalam berpikir.

Perhatikan baik-baik pembelaan tersebut, kemudian baca pelan-pelan uraian ini:

Orang yang sama ternyata menolak Al-Raudl Al-Jali, yang diklaim ditulis oleh Murtadla Al-Zabidi hanya karena masih berusia 20 tahun kala menulis kitab tersebut.

Tak kurang dari itu, kitab Al-Raudl Al-Jali dianggap sebagai “kitab pesanan” gurunya yang bernama Abd Al-Rahman Musthofa Al-Idrus. Karena berguru pada Baalawi, tentu saja Murtadla Al-Zabidi tidak akan obyektif. Dan karena kitab tersebut hanyalah kitab pesanan, tentu saja Al-Raudl Al-Jadi tidak mu’tabar.

Demikian dua paragraf yang bisa saya tangkap kala membaca so-called thesis berjudul “Terputusnya Nasab Habib Kepada Rasulullah” halaman 75.

Memang saya tahu bahwa Ibn Ishaq sudah menulis kitab sirah, namun versi yang sampai kepada umat manusia sekarang adalah versi notasi Al-Bakka’i yang telah “disunting” oleh Ibn Hisyam (w. 218 H).

Uniknya, Ibn Hisyam sendiri tidak bertemu dengan Ibn Ishaq!!!

Dan fun fact: ketika Ibn Ishaq menulis karya berjudul Sirah Nabawiyah, ia sebenarnya mempersembahkan mahakaryanya kepada seorang khalifah Abbasiyah.

Penggugat Baalawi selalu sesumbar bahwa sumber sezaman mutlak diperlukan, namun bagi saya tekad seperti ini hanya kedok untuk membatalkan genealogi Baalawi semata.

Apa pasal?

Fakta bahwa Sirah Ibn Ishaq memiliki jarak historis yang cukup panjang, kitab itu dipersembahkan untuk seorang khalifah Abbasiyah, dan telah melewati “sensor” dua orang yang berbeda zaman, seharusnya mengundang pertanyaan serius (sama seriusnya kala ia menggugat Baalawi):

“Seberapa persen informasi di dalamnya yang memang akurat, faktual dan historis?”

Ternyata, pertanyaan tersebut tak kunjung muncul. Tepat sudah dugaan saya bahwa “Sumber Sezaman” hanya Penggugat Baalawi pakai sebagai kedok saja.

Ambivalensi #2

Abna’ Al-Imam dituduh sebagai kitab palsu karena isinya sudah diinterpolasi dan ditambah-tambahi.

Memang tambahan-tambahan nama di dalam Abna’ Al-Imam diakui oleh empat muhaqqiq di dalam mukadimah, namun disebutkan pula referensi yang menjadi rujukan tambahan-tambahan tersebut.

Dan inilah yang disebut kejujuran ilmiah yang bermoral, mengakui tambahan dan menyebutkan rujukan tambahan itu.

Pertanyaannya yang benar pada situasi ini seharusnya: manakah yang menjadi teks asli Abu Al-Mu’ammar, dan manakah yang menjadi tambahan muhaqqiq?

Alih-alih mengajukan pertanyaan yang lurus seperti di atas, Penggugat Baalawi justru menuduh palsu kitab tersebut (yang menurut saya hanya) berdasarkan dua alasan: ada Yusuf Jamal Al-Lail Baalawi yang menjadi muhaqqiq-nya, dan Ubaidillah disebutkan sebagai anak Ahmad ibn Isa.

Ceritanya begini…

Naskah Abna’ Al-Imam telah melewati tiga orang, yaitu Ibnu Shadaqah (w. 1180 H), Al-Saffarini (w. 1188 H), dan Al-Maqdisi (w. 1350 H). Kemudian, Yusuf Jamal Al-Lail mendapatkan naskah tersebut dengan berbagai tambahan.

Lantas, iapun menambahi bagan pohon nasab setelah naskah tersebut ditambahi tiga muhaqqiq sebelumnya. Jadi, kontribusi Yusuf Jamal Al-Lail hanya menggambar, sementara gambar pohon nasab itu berdasarkan redaksi yang sudah ada pada naskah yang telah ia temukan.

Pertanyaannya: kenapa Baalawi dituduh mengubah kitab?

Kemudian, Penggugat Baalawi menuduh Abdullah Al-Habsy Baalawi tidak memiliki moral ilmiah dan kuat diduga menginterpolasi kitab, hanya karena men-tahqiq beberapa kitab yang memperkuat kesahihan genealogi Baalawi.

Sekadar contoh kitab yang ia tahqiq: Al-Baha’ karya Ibn Hassan, Thabaqat Al-Khawash karya Al-Syarji, dan Tuhfat Al-Zaman karya Husain Al-Ahdal.

Al-Baha terkonfirmasi ada dan diakui keberadaannya oleh intelektual yang sezaman dan mendekati masa Ibn Hassan. Bahkan, intelektual bernama Bahnan (w. 1383 H) dalam Jawahir Al-Tarikh Al-Ahqaf mengonfirmasi kitab tersebut dan membenarkan karya Ibn Hassan tentang Al-Faqih Al-Muqaddam mendahului Abdullah Al-Habsy.

Thabaqat Al-Khawash sudah mencatat redaksi Baalawi dan Al-Ahdal tersambung pada leluhur bersama Imam Ja’far Al-Shadiq, jauh sebelum Abdullah Al-Habsy lahir (sekitar 47 tahun). Seperti termaktub pada naskah Thabaqat Al-Khawas yang diterbitkan pada tahun 1321 Hijriyah.

Dan Tuhfat Al-Zaman memakai lebih dari tujuh perbandingan manuskrip, dan menulis leluhur Ali Bin Jadid bernama Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa (sementara Al-Janadi menulisnya sebagai Abdullah ibn Ahmad ibn Isa).

Penggugat Baalawi sok-sokan bicara tentang moral ilmiah, namun menuduh orang lain tidak bermoral-ilmiah tanpa dalil sahih hanya karena orang tersebut adalah Baalawi.

Anda tidak merasa aneh dengan Penggugat Baalawi ini, tah?

Ambivalensi #3

Penggugat Baalawi mengira, hanya dengan menghadirkan sumber sezaman maka pembuktikan ke-sadah-an genealogi Baalawi akan selesai (jika tidak, maka akan “rungkad”).

Sejak awal, saya memberikan positioning: berlomba-lomba membuktikan ada-tidaknya sumber sezaman adalah kerjaan manusia yang tidak mengerti bagaimana kesarjanaan historis bekerja.

Sumber sezaman atau tidak sezaman pada dasarnya berkaitan dengan seberapa bernilai informasi historis yang terkandung di dalamnya. Semakin dekat sumber tersebut dengan peristiwa yang sedang terjadi, maka informasi yang dikandungnya memiliki nilai historis yang lebih tinggi daripada dari sumber yang muncul belakangan.

Artinya, ketiadaan sumber sezaman tidak selalu bermakna ahistoris.

Namun, karena Penggugat Baalawi “menaikkan taruhan”, saya meladeni taruhan tersebut hingga membawa saya ke beberapa negara di Timur Tengah (terima kasih atas kontribusi Dr. Ahmad Hasanat, General Mufti Kerajaan Hasyimiah Jordania).

Rihlah ini membuahkan hasil, naskah yang belum direstorasi akhirnya dapat dipulihkan, naskah berbagai genre ilmu pun berhasil saya kumpulkan, dan musnad-musnad yang terkonfirmasi disahihkan oleh Syaikh Yasin Al-Fadani dan Sayid Salim Bin Jindan pun telah saya miliki.

Saya pun mengirimkan naskah-naskah itu ke beberapa pakar, salah satunya Syaikh Najih Maimoen.

Gus Najih Maimoen menelaah naskah yang saya dapatkan (ditulis oleh Umar Al-Abid ibn Sa’d Al-Din Al-Dzafari, wafat 667 H. yang mengambil isnad hadis kepada Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam)

Namun, apa yang dilakukan Penggugat Baalawi?

“Naskah halu!”

“Isnad palsu!”

“Manuskrip bodong!”

“Membongkar manuskrip Rumail Abbas!”

Bagaimana mau membongkar, jika bahan yang mau dibongkar saja tidak ia miliki? Bagaimana menilai halu, palsu, dan bodong jika ia masih nyaman dengan internet dalam mencari data?

(Sampai sini apakah Pembaca sudah mengerti kenapa saya malas berbagi data dengan pembatal Baalawi?)

Pergi ke sumber (field research) berdampak besar pada informasi penting tentang naqobah-naqobah internasional, wawancara dengan intelektual nasab yang masih hidup sampai sekarang, termasuk ahli hadis kontemporer yang meriwayatkan isnad dari tokoh-tokoh Baalawi abad ketujuh ke bawah.

Sehingga saya bertanya…

Sewaktu RMINU Banten memuat tulisan yang bilang “tidak ada naqobah internasional yang mensahihkan Baalawi”, tepatnya naqobah bagian mana? Kedustaan mana lagi yang diakomodasi Banom NU cabang Banten ini?

Saat Penggugat Baalawi mengatakan Mufti Zaidiyah di Yaman membatalkan puluhan klan Baalawi di video terkini, padahal mufti tersebut tidak tahu menahu tentang situs abal-abal yang Penggugat Baalawi rujuk, kenapa dia begitu malas memverifikasi kabar itu kepada orangnya langsung?

Saat Penggugat Baalawi menukil Al-Turbani kala meragukan hijrahnya Ahmad ibn Isa ke Yaman di dalam buku versi cetak, kenapa tak melengkapi perubahan sikap Al-Turbani yang telah mengakui kesahihan Baalawi?

Teori yang ia rapikan dari Murad Syukri (namun sudah dibantah oleh Hasan Asegaf), sebenarnya tidak memiliki perkembangan karena Murad Syukri sendiri sudah taslim dengan jawaban Hasan Asegaf.

Saya berkunjung ke kediaman Hasan Asegaf di Jordania, orang yang membantah Murad Syukri dan Murad Syukri mengaku taslim atas argumentasinya

Ambivalensi #4

Saya sering dituduh berdusta, berbohong, dan pernah dianggap tidak bertemu siapa-siapa di Timur Tengah (bahkan diinsinuasi tidak pergi ke mana-mana kecuali di warung kopi biasa).

Entah, berapa kali kalimat derivasi dari “dusta” yang ia lemparkan kepada pendukung kesahihan Baalawi hanya karena kewalahan, sehingga bola terakhir ia lemparkan kepada “tes DNA” sebagai pembuktian.

Namun yang pasti, kala ia mengurai Al-Ghurar karya Al-Khirid, Penggugat Baalawi menginsinuasi bahwa Baalawi di-isbat oleh mimpi. Padahal, Al-Khirid (ahli hadits) bukan orang bodoh yang mengetahui mimpi tidak bisa dipakai dalil, dan sudah menyebutkan puisi yang berisi 19 nama ulama yang meng-isbat Baalawi.

Kala saya menulis “Kiai Imad Berdusta” karena tidak mengutip redaksi Al-Khirid secara lengkap, ternyata ia tidak terima. Padahal, menyampaikan informasi tidak lengkap adalah sebuah kebohongan menurut MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) yang disebut partial truth.

Akhirnya, Penggugat Baalawi menuduh Baalawi bernasab halu lewat Al-Khirid, padahal tidak sesuai redaksi utuhnya!

Kesimpulan

Bagi saya, masalah nasab ini tidak perlu Anda percayai (jika tidak mau percaya). Hanyasaja, jika menunggangi isu nasab untuk menyebarkan kabar bohong (dan mengajak orang untuk mempercayai kebohongan itu), maka sikap ini sudah jadi perbuatan hina.

Akibatnya, tahu-tahu ada seorang ustaz bernama Suparman Abdul Karim bisa tampil berbusa-busa di mimbar:

“Coba keliling dulu ke dunia internasional. Tidak ada satupun negara yang mengatakan Banu Alwi (Baalawi) sebagai keturunan Nabi!”

Saya heran sama Si-Paling-Internasional ini. Kok, bisa sepercaya diri itu membual di mimbar-mimbar umum?

Saya dituduh (lagi) tidak berakhlak kepada Rasulullah. Tapi, siapa yang berdusta atas nama kesucian keturunan Rasulullah, sih?

Si-Paling-Internasional, Gais~

--

--

Rumail Abbas

Nahdliyin, Historian, GUSDURian, Peneliti Budaya Pesisiran & Resolusi Konflik untuk GUSDURian & Yayasan Rumah Kartini