Laporan Kepada Kiai Afif tentang Kitab Al-Raudl Al-Jali

Sebenarnya “Kiai Kresek” yang membatalkan Baalawi itu tidak jago-jago amat dalam menelaah literatur~

Rumail Abbas
8 min read5 days ago
Salinan Naskah Al-Jauhar Al-Syafaf karya Abdurrahman Al-Khatib yang disalin tahun 1278 H. Tidak ada kaitannya dengan tema, namun pamer saja kalau penulis memiliki naskah versi lain dari yang dimiliki Pembatal Baalawi

Secara statistik, mayoritas umat Islam masih mengakui Bani-Alawi sebagai zuriah Baginda Nabi. Pasalnya, kendatipun kampanye “Pembatalan Baalawi” diamplifikasi oleh “YouTuber Akun-Akunan” sepanjang dua tahun terakhir, namun pengunjung Haul di Gresik dan Haul di Solo masih ramai seperti dua tahun sebelumnya.

Klaim bahwa “mayoritas umat Islam di Indonesia sudah faham bahwa nasab Baklawi terputus” itu didapat dari survey atau sensus kapan, dan di mana?

Harapan mereka, sih, haul-haul seperti ini jadi sepi drastis. Tapi, jangankan turun signifikan, disebut berkurang saja belum!

Perkenalkan, Kiai Afif, penulis adalah mas-mas nahdliyin biasa yang tinggal di pesisir utara Pulau Jawa, tepatnya dari Kabupaten Jepara. Penulis berteman dengan Kiai Afif di Facebook, dan mendapati status Kiai tentang Imam Murtadla Al-Zabidi yang memproduksi kitab Al-Raudl Al-Jali fi Ansab Al Ba’alawi (pada 25 Juni 2024, 5:09 PM).

Tak lupa, pada status itu penulis ngasih: “👍”

Begitupun, penulis membaca tulisan Kiai Kresek yang menyampaikan “sanggahan” ke Kiai tentang status Facebook tersebut. Kira-kira, begini laporannya:

“Penulis (baca: Kiai Kresek) akan sampaikan laporan kepada Kiai Afif, bahwa sebenarnya penisbatan kitab Al Raudul Jali kepada Syekh Murtada al Zabidi pun palsu. Dari sana kemudian husnuzon kepada nasab Ba’alwi dengan dalil taklid kepada seorang yang salih seperti syekh Murtada pun akan tidak signifikan lagi.”

Dengan merangkum komentar Abu Bakr Baadzib yang tertuang dalam mukadimah kitab Al-Raudl Al-Jali, seolah-olah Kiai Kresek tadi memberikan informasi yang luar biasa. Padahal, dia tidak melakukan apapun kecuali copy-paste kajian Abu Bakr Baadzib, kemudian memvonis “palsu” kitab dan manuskrip orang.

Kebetulan, sekitar empat bulan lalu penulis bertandang di kediaman Abu Bakr Baadzib di Jeddah, berdialog langsung, dan sempat berbantah juga dengannya. Bermaksud untuk “sombong”, penulis adalah peneliti paling serius dan sejauh itu melakukan kajian.

Maksudnya, Kiai bisa bandingkan dengan Kiai Kresek yang hanya ongkang-ongkang di depan laptop namun langsung memvonis “palsu” kitab dan manuskrip orang.

Abu Bakr Baadzib (kiri) dan penulis (peci hitam, seberangnya) yang serius mencatat apa saja yang penulis temukan di dalam perpustakaannya. Sensor penulis terapkan untuk alasan privasi.

Sekapur Sirih…

Tulisan bertajuk “Laporan Kepada K.H. Afifuddin Muhajir Tentang Kepalsuan Kitab Arraudul Jali” ditulis Kiai Kresek pada 27 Juni 2024. Tulisan itu terdiri dari 22 paragraf dengan 10 kali menyebutkan kata “palsu” di dalamnya.

Artinya, setiap dua paragraf, rata-rata ia menyisipkan “indoktrinasi” tentang palsu di seluruh tulisannya. Wow!

Penulis akan mengurai hal ini sambil mengunggah redaksi lengkap komentar Baadzib, kemudian melaporkan kepada Kiai tentang watak Kiai Kresek yang tidak kunjung berubah ini.

Sesumbar yang Lucu~

Benar bahwa Abu Bakr Baadzib hanya mampu meraih naskah Al-Raudl Al-Jali yang disalin Hasan Muhammad Qasim (w. 1394 H) pada tahun 1350 H. dari naskah Abd Al-Mu’thi yang mengklaim menyalin ulang dari tulisan tangan Imam Murtadla Al-Zabidi (w. 1205 H) sendiri.

Naskah Abd Al-Mu’thi, menurut Kiai Kresek tadi, disimpan di Maktabah Sadat Al-Wafaiyyah. Selain itu, naskah lain yang tersedia ialah salinan Sayid Alwi bin Thahir Al-Haddad yang menyalin ulang naskah salinan Hasan Muhammad Qasim.

Pertanyaan Kiai Kresek (sekaligus ia jawab sendiri): benarkah salinan asli tulisan Abdul Mu’ti itu ada di Maktabah Sadat Al Wafaiyyah? TIDAK ADA. SILAHKAN DI CEK DI PERPUSTAKAAN AL WAFAIYYAH.

Kiai Kresek keliru sewaktu memahami Al-Sadat Al-Wafa’iyah sebagai “perpustakaan”. Karena tidak ada “perpustakaan” (خزانة) yang berarti toko buku, penerbit, atau perpustakaan yang diatribusikan kepada Al-Sadat Al-Wafa’iyah di seantero Mesir.

Secara verbatim, “Khazanah Al-Sadat Al-Wafa’iyah” dalam penjelasan Abu Bakr Baadzib adalah sebuah masjid yang dikelilingi makam-makam dari wangsa Sadah Al-Wafa’iyah yang memang menyimpan naskah-naskah tua, dan letaknya di dekat Sayyidi Ibn ‘Athaillah Al-Sakandari.

Memang Mesir punya beberapa masjid seperti Masjid Al-Sadat Al-Wafa’iyah yang menyimpan manuskrip-manuskrip tua, selain Masjid Imam Dardir dan Masjid Sayyidah Zainab binti Alim, namun tidak tepat jika disebut “perpustakaan”.

Makam Al-Sadah Al-Wafa’iyyah, berjarak beberapa meter dari Imam Ibnu Athaillah. Sumber: Wildan Badarulcham (di dalam foto)

Penulis lupa tepatnya tahun berapa (mungkin di era Syaikh Al-Azhar Hasunah Al-Nawawi?), bahwa otoritas kampus Al-Azhar pernah membikin proyek besar-besaran dalam mengumpulkan manuskrip-manuskrip dari khaza’in (termasuk Masjid Al-Sadat Wafaiyyah) untuk dipindahkan semuanya ke satu tempat, yaitu: Maktabah Al-Azhar.

Jadi, kalau ingin mencari naskah Al-Raudl Al-Jali, ya, harus ke Maktabah Al-Azhar, bukan ke Al-Sadat Al-Wafa’iyah. Bagaimana mencari di sana, lawong isinya cuma kuburan dan masjid?

Sebagai bocoran lagi, pada Perpustakaan Al-Ahgaf, Yaman terdapat dua naskah Al-Raudl Al-Jali karya Murtadla Al-Zabidi yang disalin tahun 1205 H. dengan nomor indeks 2059 dan 2060 (saya gak akan bocorkan selain ini!).

Pertanyaan penulis: mampukah Kiai Kresek mencari manuskrip tersebut sampai Maktabah Al-Azhar atau Maktabah Al-Ahgaf, dan menghadirkannya di depan publik untuk membuktikan klaim “tidak ada!” seperti sesumbarnya di atas?

Kala Kiai Kresek justru menantang orang lain untuk menghadirkan manuskripnya, justru inilah argumen anak kecil yang lucu!

Sama seperti Jokowi kala dituduh bukan alumni UGM, haruskah Jokowi yang menunjukkan ijazahnya? Tentu saja Si Penuduh yang harus menghadirkan ijazah Jokowi yang dilegalisir kampus non-UGM, kan?

Maka, siapa yang menuduh naskah tersebut “palsu” dan “tidak ada”, seharusnya dia sendirilah yang membuktikannya, kan, Kiai Afif?

Batr Al-Kalam ‘an Siyaqih #1

Kiai Kresek menandaskan bahwa Al-Raudl Al-Jali ini adalah kitab yang menurut para peneliti diduga kuat palsu.

Pertanyaannya: siapa “para peneliti” ini?

Abu Bakr Baadzib tidak mengatakan “para peneliti menduga kuat kitab Al-Raudl Al-Jali sebagai kitab palsu”. Dia hanya mengatakan bahwa salinan Hasan Muhammad Qasim cukup problematik karena terdapat kekeliruan-kekeliruan historis di dalamnya yang tidak match dengan narasi mainsteram.

Kala Kiai Kresek mengutip kesimpulan Baadzib (hlm. 49) bahwa penisbatan Al-Raudl Al-Jali kepada Imam Murtadla Al-Zabidi sebagai ghairu maqthu’ (tidak bisa dipastikan), namun bersifat muhtamal (punya probabilitas), maka dia telah mencerabut konteks penjelasan Baazdib (batr al-kalam ‘an siyaqih).

Begini penjelasan ringkas Abu Bakr Baadzib…

“Bagiku, ada dua cara dalam merespon klaim tersebut:

Pertama, berprasangka buruk sepenuhnya pada Hasan Muhammad Qasim. Setelah melihat rekam jejaknya dalam Akhbar Al-Zainabat dan seterusnya…. maka dia sengaja mencampur aduk berbagai redaksi dan menyusunnya ulang seperti sekarang. Kemudian, ia mengklaim Murtadla Al-Zabidi sebagai penulisnya.

Kedua, dan cara ini disertai keyakinanku; kami pastikan adanya tambahan-tambahan di dalam Al-Raudl Al-Jali yang memang mustahil bersumber dari Al-Zabidi, seperti sudah dijelaskan (sampai pada redaksi yang sudah kami pastikan BUKAN dari Al-Zabidi). Kendatipun, adanya tambahan-tambahan tersebut bukan berarti tidak ada yang bersumber dari asli manuskripnya.”

Nah…

Kiai Kresek tidak menyebutkan “cara Kedua” tersebut dan hanya memastikan “palsu” tanpa mengutip secara utuh penjelasan Abu Bakr Baadzib seperti di bawah ini (highlight hijau):

Batr Al-Kalam ‘an Siyaqih #2

Abu Bakr Baadzib menjelaskan “cara Kedua” dengan dasar lima macam probabilitas (qarinah yang memungkinkan naskah Hasan Muhammad Qasim dapat dibenarkan). Namun, Kiai Kresek itu justru meledek uraian ini “sekadar basa-basi” hanya karena Abu Bakr Baadzib memiliki kedekatan dengan tokoh-tokoh Baalawi.

Jika Kiai Afif lihat, “cara Pertama” hanya tersedia dalam lima baris penjelasan, sementara “cara Kedua” disusun Abu Bakr Baadzib dalam enam baris plus dua halaman penjelasan setelahnya (seperti yang Kiai Afif lihat di atas).

Artinya, “cara Pertama” tidak lebih penting dari “cara Kedua”, sebagaimana secara badihi manusia yang mendorong “penjelasan yang penting memerlukan detail yang lebih panjang”.

Pertanyaan kemudian: benarkah kedekatan Abu Bakr Baadzib dengan tokoh-tokoh Baalawi mengandung bias “berbasa-basi”? Dari mana Kiai Kresek ini mengambil kesimpulan begini?

Jika Kiai Afif ingin tahu, penulis akan menunjukkan watak Kiai Kresek yang akut: sesuka udelnya menuduh orang lain subyektif pada Baalawi, termasuk Abu Bakr Baadzib. Namanya “sesuka udel”, tentu ia hanya memerlukan celoteh semata.

Apa buktinya?

Lewat jarh yang dilontarkan Abu Bakr Baadzib, Kiai Kresek ini melancarkan kritikan (bahkan layak disebut tuduhan) pada Salim bin Jindan dalam tulisan bertajuk “Musnad Palsu, Syekh Salim Bin Jindan Dan Pendapat Ulama Yaman Tentangnya”.

Tak kurang dari itu, Kiai Kresek itu pun mengutip jarh dari tokoh-tokoh Baalawi dari Ayman Al-Habsyi, Abdul Qadir Al-Saggaf, Masyhur bin Hafidz, Segaf Ali Al-Kaf, hingga Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi yang ditujukan kepada Baalawi yang bernama Salim Bin Jindan.

Ketika Baadzib (dan Baalawi di atas) mengkritik Baalawi, justru Kiai Kresek pakai kritik itu untuk mengkritik Baalawi. Alih-alih menilainya sebagai kritik dari intelektual yang memiliki integritas, namun saat intelektual tersebut (Baadzib maupun Baalawi) memastikan nasab Baalawi justru dianggap subyektif.

Apa yang bisa dibuktikan dari sini?

Jika Abu Bakr Baadzib tidak segan melontarkan jarh kepada Baalawi (begitupun satu Baalawi tidak akan segan melontarkan kritik kepada sesama Baalawi), lantas motif apa yang mendorongnya untuk berbasa-basi kepada Baalawi dalam Al-Raudl Al-Jali?

Bukankah ini menunjukkan Abu Bakr Baadzib memang memiliki integritas sebagai penahqiq kitab Al-Raudl Al-Jali?

Tentu saja, karena lima qarinah yang diurai Abu Bakr Baadzib memenuhi standar penahqiqan sebuah manuskrip (secara ringkas penulis nukil uraiannya):

Pertama, Hasan Qasim memang punya rekam jejak yang buruk untuk Akhbar Al-Zainabat, namun Al-Raudl Al-Jali belum tentu bernasib sama seperti Akhbar Al-Zainabat. Belum tentu seluruh isinya salah, kendati belum tentu juga seluruh isinya benar. Semuanya serba memungkinkan!

Kedua, Ketiadaan reportase Al-Raudl Al-Jali sebagai kitab yang diproduksi Murtadla Al-Zabidi bukan berarti ia memang tidak benar-benar menulis kitab itu. Banyak kitab-kitab Al-Zabidi (dan tokoh lain) yang tidak dikenal secara populer.

Ketiga, Kekeliruan Hasan Qasim di dalam naskah Al-Raudl Al-Jali terbilang sangat mudah dikoreksi (يسيرة جدا). Hal ini tidak bisa menepis bahwa Al-Raudl Al-Jali adalah karangan Murtadla Al-Zabidi.

Keempat, Murtadla Al-Zabidi memiliki gaya penulisan yang khas, dan di Al-Raudl Al-Jali memiliki kemiripan dengan gaya penulisannya di kitab-kitab yang ia produksi, termasuk Taj Al-’Arus. Sekadar contoh, ada dua tokoh Baalawi (sezaman) yang sering dipuji Murtadla Al-Zabidi yang ternyata kedua nama itu tidak ditemukan kecuali di dalam Al-Raudl Al-Jali.

Kelima, Murtadla Al-Zabidi punya komitmen untuk menulis kitab nasab secara spesifik untuk wangsa-wangsa tertentu, seperti satu kitab khusus tentang Bin Thayyar, satu kitab khusus Bani Abbas, dan Bani-lainnya. Maka, tidak jauh dari ekspektasi jika Murtadla Al-Zabidi akan menulis kitab khusus untuk Bani Alawi. Bagaimanapun, Al-Zabidi punya tali rasa yang kuat dengan Baalawi yang sangat diketahui publik manapun.

Setelah menjelaskan itu semua, barulah Abu Bakr Baazib menjelaskan motifnya menerbitkan Al-Raudl Al-Jali, salah satunya memberikan penjelasan (tahqiq) apa saja yang perlu dikoreksi dan dijelaskan dalam Al-Raudl Al-Jali yang pernah beredar tanpa keduanya (koreksi dan penjelasan).

Kesimpulan

Coba bandingkan kelima probabilitas di atas, Kiai Afif; apakah semuanya disusun karena “berbasa-basi dengan tokoh Baalawi”, atau muncul dari kejelian seorang muhaqqiq?

Maksudnya: apakah celoteh Kiai Kresek yang langsung memvonis “palsu” lebih masuk akal daripada penjelasan Abu Bakr Baadzib?

Penulis menduga, tuduhan “berbasa-basi karena punya kedekatan dengan Baalawi” dan “manuskrip palsu, kitab palsu, bukan tulisan Murtadla Al-Zabidi” hanyalah halusinasi yang hanya berada di tempurung kepala Kiai Kresek semata, Kiai Afif.

Apakah Imam Murtadla Al-Zabidi mengisbat Baalawi? Kiai Afif bisa menyimak uraian penulis di sini: “Ahmad bin Isa Hijrah, kata Ulama Abad V H. Benarkah?

Salam,

Rumail Abbas (@Stakof)

--

--

Rumail Abbas

Nahdliyin, Historian, GUSDURian, Peneliti Budaya Pesisiran & Resolusi Konflik untuk GUSDURian & Yayasan Rumah Kartini