Megancam Su’ul Khatimah Memang Tidak Ilmiah, Namun Alasan Jamal Ba’agil Bisa Dimengerti

Kejengkelan Jamal Ba’agil mungkin jadi dorongan

Rumail Abbas
8 min readFeb 1, 2024
Jamal Baagil (kanan) bersama Syaikh Usamah Al-Azhari (tengah). Sumber: Darul Ummahatil Mukminin

Da’i muda asal Malang — yang kebetulan dari klan Baalawi, yaitu Achmad Jamal ibn Toha Ba’agil (selanjutnya disebut: Jamal Ba’agil) di platform YouTube mengunggah cuplikan ceramah berjudul: “HATI-HATI BAGI SEORANG YANG MENAFIKAN NASAB HABAIB”.

Sontak, kurang dari sehari para kreator konten di platform yang sama berbondong-bondong menyebut ucapan Jamal sebagai “ancaman” dalam menutup peluang pembahasan genealogi Baalawi yang sedang ramai diperbincangkan setahun terakhir ini.

Apa yang disampaikan Jamal Ba’agil, menurut standar studi terkini, sudah memenuhi kategori fear mongering, istilah yang kerap dipakai untuk menyebutkan praktik penyebaran ketakutan (konteks: su’ul khatimah) dalam upaya mempengaruhi orang-orang untuk tidak lagi mengungkit-ungkit nasab Baalawi.

Jika sikap Jamal Ba’agil adalah respon atas polemik nasab Baalawi, maka bisa dipastikan sikap itu tidak mewakili seorang ilmuwan.

Kenapa Sikap Seperti Jamal Ba’agil Muncul?

Jamal Ba’agil bukan orang bodoh, ia termasuk well-educated, dan hal itu nampak dari penguasaan turats yang ia sampaikan dalam beberapa ceramah. Dari sebagian cuplikan yang saya dapati, tak sedikit saya melihat kritiknya pada haba’ib, julukan untuk klan Jamal Ba’agil sendiri.

“Saya justru malu kalau melihat haba’ib seperti itu!” demikian katanya, sewaktu memberikan refleksi atas “habib-habib kroco” yang bercemarah namun isinya misuh-misuh (apalagi dalam atmosfer politik).

“Setiap ketemu mereka, pasti saya sampaikan (kritik) itu.” pungkasnya dalam ceramah.

Nampaknya, kritik internal semacam ini tidak pernah didengar oleh kubu pembatal nasab Baalawi (apalagi disebarkan). Amplifikasi yang — nampak difabrikasi dan— terus dibesar-besarkan kubu pro-pembatalan ialah sisi negatif oknum Baalawi yang didudukkan secara kausalitas: jika kelakuannya “begini”, maka mereka bukan cucu nabi, deh.

Padahal, kelakuan seseorang adalah fenomena sosiologis, bukan fenomena biologis. Dan untuk mencapai pada pengetahuan itu tidak harus pintar, cukup dengan berpikir waras saja. Namun, sedikit yang punya pemikiran waras seperti ini.

Bahkan, saking susahnya menepis cocoklogi ini, Imam Ibn Hajar sampai berkata:

الشرف لا يلزم عدم الفسق

“Kemuliaan tidak berarti kelak tidak akan melakukan kefasikan.”

Sebagai tambahan, Al-Ubaidili (w. 436 H.), pakar nasab generasi awal di dalam Tahdzib Al-Ansab menjelaskan beberapa Sadah (keturunan Rasul) yang berperilaku buruk. Namun, perilaku tersebut tidak berdampak pada fakta biologis bahwa sadah tersebut memang benar-benar keturunan Rasul (buktinya: Al-Ubaidili masih menulis silsilahnya lempang lurus ke Imam Ali).

Melihat betapa sulitnya menangkap pikiran waras seperti ini, barangkali inilah yang membuat Jamal Ba’agil akhirnya berkelakar:

“Saya khawatir, mereka nanti, jika tidak mengubah keyakinannya (tentang batalnya nasab Baalawi), bakal kualat dengan ribuan wali Allah dari Bani-Alawi. Karena mereka menganggap orang-orang saleh Baalawi berdusta atas nasabnya.”

Sebenarnya, secara substansi, Jamal Ba’agil punya konteks: jangan menuduh orang saleh dan wali Allah berdusta. Seperti Mbah Moen berpesan:

“Dagingnya wali itu racun!”

Kebetulan, kedustaan yang dituduhkan ialah tentang nasabnya. Sehingga, orang-orang gagal menangkap substansi yang disampaikan Jamal Ba’agil; seharusnya menghindari tuduhan, justru dipahami sebagai ancaman membahas nasab Baalawi.

Saya Sempat Berpikir Seperti Jamal Ba’agil

Saya telah memproduksi 15 video di Pamitnya Ngantor untuk menyanggah tesis pembatalan Baalawi yang disusun oleh penulis produktif asal Banten, dan satu naskah panjang sebagai kompilasi yang saya beri tambahan di archive.org.

Dalam seluruh sanggahan tersebut, saya berusaha menertibkan pola pikir yang seharusnya dilalui siapapun yang ingin membatalkan nasab Baalawi melalui pertanyaan sederhana: apakah argumentasi pembatalannya sahih?

Jawaban pendek saya: tidak!

Alih-alih memperkuat argumentasinya supaya lebih runut, ilmiah, dan logis, para kreator konten pembatalan Baalawi justru bergeser pada permasalahan yang lain (begitupun penulis asal Banten tersebut), sambil membantah sanggahan saya dengan argumentasi compang-camping yang tidak menaati prosedur kritik historis.

Sejarah, sebagaimana ilmu pengetahuan, sangat terikat pada prosedur. Jadi tidak bisa digunakan secara acak dan serampangan. Telaah acak-acakan tersebut saya temui dalam penafsiran historis dari literatur sejak Al-Janadi (w. 732 H.) hingga Ali Al-Sakran (w. 895 H.) yang terus diproduksi oleh pro-pembatalan nasab Baalawi.

Ali Al-Sakran, penulis Al-Barqah Al-Musyiqah, sering dijadikan bulan-bulanan sebagai promotor pertama yang memperkenalkan “Ubaidillah” dan Baalawi sebagai sadah. Tak sedikit pula saya dapati tuduhan Ali Al-Sakran sebagai pendusta, pembohong, dan penginterpolasi sejarah Baalawi secara sengaja.

Padahal, Ali Al-Sakran menukil puisi orang lain (generasi ayahnya) yang dlarurat-syair memaksanya menulis dengan redaksi “Ubaid” (yang dalam generasi ayahnya sudah dikenal sebagai “Ubaidillah”). Dan “Ubaid(illah)” inilah yang menurut Ali Al-Sakran dalam reportase Al-Janadi, kala menulis silsilah Ali Bin Jadid, ditulis sebagai “Abdullah”.

Bukti materiel bahwa “Ubaidillah” sudah tertulis sebelum Ali Al-Sakran, salah tiganya, terdapat pada Al-Jauhar Al-Syafaf yang ditulis Al-Khatib (w. 855 H.) pada tahun 820 Hijriyah, dimana Ali Al-Sakran baru berumur setahun.

Dalam Hikayat Al-Ula, kala menulis silsilah Ali Khali’ Qasam, Al-Khatib menulis “Ubaidillah” sebagai leluhur Baalawi (dalam tiga naskah yang saya temukan).

Al-Sakhawi (830–902 H.) bertemu Abdullah Baalawi (w. 886 H.) yang sudah meninggalkan Yaman pada tahun 821 Hijriyah — dan tidak kembali ke Yaman sampai wafat di Mekah, dan menulis silsilahnya sampai “Ubaidillah”.

Untuk diketahui, di tahun Abdullah Baalawi meninggalkan Yaman, Ali Al-Sakran baru berumur 2–3 tahun.

Husain Al-Ahdal (w. 855 H.) dalam Tuhfat Al-Zaman menulis silsilah Ali Bin Jadid sampai kepada “Ubaidillah ibn Ahmad”, dimana Al-Janadi (w. 732 H.) menulis silsilah orang yang sama sampai pada “Abdullah ibn Ahmad”.

Untuk diketahui lagi, Tuhfat Al-Zaman ditulis Husain Al-Ahdal pada tahun 826 Hijriyah, dimana Ali Al-Sakran baru memasuki usia delapan tahun. Dan Husain Al-Ahdal adalah sejarawan terdekat dengan Al-Janadi, karena ketika Al-Janadi wafat, sekitar 47 tahun kemudian Husain Al-Ahdal lahir ke dunia.

Pertanyaannya: jika leluhur Ali Bin Jadid menurut reportase dua orang sejarawan yang berbeda ditulis dengan “Ubaidillah ibn Ahmad” dan “Abdullah ibn Ahmad”, andaikan Abdullah-Ubaidillah adalah dua orang yang berbeda, kenapa tidak ada yang menginterupsi?

Tentu saja ketiadaan interupsi membuktikan bahwa Abdullah-Ubaidillah adalah orang yang sama, keduanya kerap dipakai secara bergantian, dan Ali Al-Sakran ialah orang pertama yang memberikan alasan kenapa Abdullah menjadi Ubaidillah.

Tidak ada yang legawa dari kubu pro-pembatalan atas fakta sejelas itu, kecuali jawabannya sangat lucu-lucu, seperti:

Puisi yang dikutip Ali Al-Sakran (yang menulis leluhurnya dengan “Ubaid”) berasal dari masyayikh yang berguru pada Abu Bakr ibn Abdurrahman Asegaf, ayah Ali Al-Sakran. Situasi guru-murid antara keduanya mendorong pemilik puisi untuk subyektif.

Jelas argumentasi seperti ini hanya mengada-ada. Akal sehat sekalipun akan mempertanyakan: apakah hanya karena seseorang memiliki guru Baalawi menjadikan pendapatnya seketika gugur?

Pada masa itu, Baalawi mulai memiliki kabilah-kabilah turunan seperti Maula Dawileh, Al-Saqaf, Al-Muhdlar, Al-Idrus, dan lainnya sehingga peluang untuk mengevaluasinya sangat besar. Dan murid-murid Baalawi (yang belajar hadis dan mengerti cara kerja verifikasi riwayat) adalah instrumen terdekat untuk memvalidasinya.

Namun faktanya: tidak ada yang menginterupsi Ubaid(illah) adalah nama lain dari Abdullah di tengah maraknya kabilah turunan Baalawi di masa mereka!

Al-Sakhawi, menurut klaim penggugat Baalawi, pasti menukil Ali Al-Sakran kala menulis silsilah Abdullah Baalawi sampai kepada “Ubaidillah”. Padahal, tidak ada satupun bukti yang memperkuat korespondensi antara Al-Sakhawi dengan Ali Al-Sakran (kendatipun mereka sezaman).

Justru Abd Al-Kabir, orang Yaman yang ditemui Al-Sakhawi, menginformasikan empat orang kabilah Baalawi yang dikenal penduduk Yaman sebagai orang-orang saleh, dan dikenang sebagai asyraf (klan keturunan Rasul). Mereka ialah Abd Al-Rahman Asegaf, Abu Bakr Al-Sakran, Umar Al-Muhdlar, dan Abu Al-Hasan Baalawi.

Alih-alih menganulir “Ubaidillah” dan nasab Baalawi, murid Ibn Hajar Al-Asqalani ini justru mengisbatnya dalam silsilah Abdullah Baalawi.

Al-Jauhar Al-Syafaf, karya Al-Khatib, diklaim penggugat Baalawi berisi kisah-kisah khurafat sehingga tidak bisa diandalkan dalam mengisbat. Maka, nama “Ubaidillah” dalam silsilah Ali Khali’ Qasam tidak bisa diperhitungkan.

Padahal, Husain Al-Ahdal sezaman dengan Umar Al-Muhdlar dan menyebut Baalawi merupakan sepupu biologis yang bertemu leluhur bersama yaitu Imam Ali. Kemudian Al-Syarji (812–893 H.) dalam Thabaqat Al-Khawash, yang mendapati wafatnya Umar Al-Muhdlar, menekankan bahwa klan Al-Ahdal dan klan Baalawi bertemu leluhur bersama yaitu Imam Ja’far Al-Shadiq.

Artinya, klaim Al-Jauhar Al-Syafaf yang berisi kompilasi kisah-kisah khurafat (sehingga tidak mu’tamad), justru tidak dianulir intelektual yang sezaman dengan Al-Khatib, penulis kitab ini. Alih-alih mereka menegaskan kabilah Baalawi adalah sadah dan sepupu biologis Al-Ahdal lempang lelaki ke atas sampai Imam Ja’far Al-Shadiq dan Imam Ali.

Tahu bahwa argumentasinya asal-asalan, kubu pro-pembatalan mengklaim Tuhfat Al-Zaman dan Thabaqat Al-Khawash telah diinterpolasi dan di-tahrif (pengubahan secara sengaja) karena di-tahqiq oleh Abdullah Muhammad Al-Habsy.

“Pembacaan sejarah yang melewati tangan Baalawi harus diwaspadai. Silsilah Ali Bin Jadid sudah diubah Abdullah Muhammad Al-Habsy.” kata mereka.

Kubu pro-pembatalan Baalawi hanya mengandalkan satu naskah tunggal ketika mengatakan itu. Padahal, Al-Habsy memakai 10 manuskrip yang beragam, tahun berbeda, dan disimpan perpustakaan naskah yang tak tunggal dalam menerbitkan Tuhfat Al-Zaman.

Bagaimana mungkin orang bisa berani menuduh orang lain mengubah naskah dengan modal manuskrip tunggal, itupun versi bajakan yang hanya beredar di internet (dan tidak cukup untuk membuktikan interpolasi Al-Habsy)?

Kubu pro-pembatalan Baalawi pun gagal menunjukkan tahrif yang dilakukan Al-Habsy, karena sebelum Al-Habsy menerbitkan Thabaqat Al-Khawas pada tahun 1406 H., redaksi yang sama (bahwa leluhur bersama Al-Ahdal dan Baalawi ialah Ja’far Al-Shadiq) justru tertulis dalam naskah yang diterbitkan Abbadi Hasan Al-Kutubi pada tahun 1321 H.

Untuk diketahui, Al-Habsy lahir pada tahun 1368 Hijriyah, 47 tahun sesudah naskah Thabaqat Al-Khawash dipublikasikan Abbadi Hasan Al-Kutubi di Mesir sebanyak 1000 eksemplar.

Bagaimana mungkin Al-Habsy dianggap mengubah naskah, jika 47 tahun sebelum ia lahir sudah ada redaksi seperti itu? Mungkinkah Al-Habsy itu time traveler yang mampu pergi ke masa lalu untuk mengubah naskah yang mau diterbitkan sebelum 47 tahun ia lahir?

Tambahan untuk konteks ini, tuduhan interpolasi (sehingga semua orang diarahkan untuk tidak memercayai Baalawi) pernah pula dilemparkan kepada Yusuf Jamalul Lail (masih hidup) dalam kitab Abna’ Al-Imam.

Informasi penting: kitab tersebut sudah diberi notasi oleh Ibnu Shadaqah Al-Halabi (w. 1180 H.), Abu Al-Aun Al-Sifarini (w. 1188 H.), dan Muhammad ibn Nashar Al-Maqdisi (w. 1350 H).

Saat Yusuf Jamalul Lail menemukan naskah Abna’ Al-Imam, ia sudah mendapati tambahan-tambahan dari tiga orang pendahulunya. Kemudian, ia lengkapi dengan bagan-bagan (musyajjar) dan menerbitkannya pada tahun 1425 Hijriyah.

Tentu saja tuduhan pada Yusuf Jamalul Lail adalah tuduhan yang dibuat-buat, kan? Bagaimana mungkin orang yang cuma membuatkan bagan-bagan nasab dituduh menginterpolasi? Dan Yusuf Jamalul Lail itu masih hidup, mengapa begitu malas mendeteksi isi kitabnya kepada orangnya langsung?

Kejengkelan melihat cara berargumentasi yang konyol seperti ini membuat saya sadar, bahwa kubu pembatalan nasab Baalawi tidak memiliki integritas ilmiah.

Permintaan Mas Sugeng (konsultan DNA zuriah Walisongo) untuk berbagi naskah yang telah saya temukan akhirnya saya urungkan, karena saat tiga kali menunjukkan naskah-naskah, saya justru dituduh:

“Manuskrip palsu!”

“Isnad halu!”

“Naskah bodong!”

“Rumail berdusta!”

“Dia tidak kemana-mana, paling di warung kopi di Jordan. Bahkan tidak ke Jordan sama sekali.”

Sepertinya kubu pembatalan nasab Baalawi tidak memerlukan bayyinah (bukti), namun hidayah dari Tuhan saja, demikian batin saya waktu melihat cara-cara mereka menyanggah.

Akhirnya, kendatipun sikap Jamal Ba’agil tidak bisa disebut ilmiah, namun alasan munculnya sikap itu bisa sangat dimengerti. Minimal, seperti itulah pengalaman saya sendiri yang cukup intens dalam menelaah genealogi Baalawi.

Tulisan ini didukung oleh fundraiser TrakTeer: Rumail Abbas (klik)

--

--

Rumail Abbas

Nahdliyin, Historian, GUSDURian, Peneliti Budaya Pesisiran & Resolusi Konflik untuk GUSDURian & Yayasan Rumah Kartini