Melihat Baalawi pada Abad Kedelapan Hijriyah

Seperti apa mereka diketahui?

Rumail Abbas
5 min readDec 24, 2023
Orang Yaman: Photo by أحمد هادي on Unsplash

Konon, orang pertama yang memperkenalkan Baalawi sebagai asyraf (plural dari syarif, “orang mulia” yang secara spesifik bermakna keturunan Baginda Nabi lewat Sayidah Fathimah) ialah Ali ibn Abi Bakr Al-Sakran ibn Abd Al-Rahman Al-Saqaf (w. 892 H.), pengarang Al-Barqah Al-Musyiqah. Dialah “Baalawi pertama” yang diinsinuasi memperkenalkan “Ubaidillah” sebagai datuk Baalawi (bukan “Abdullah”).

Benarkah demikian?

Awalnya saya membaca kitab Durar Al-’Uqud Al-Faridah, dan sampai pada deklarasi Taqiyy Al-Din Al-Maqrizi yang menyinggung Hadlramaut.

“Aku punya kompilasi kecil dari ngajiku sama Abu Buraik tentang hikayat-hikayat aneh dari lembah Hadlramaut!” demikian kata Al-Maqrizi

Siapa Abu Buraik, yang menjadi “informan” beserta kompilasi Hadlramaut yang ia ceritakan pada Al-Maqrizi? Penjelajahan tentang deklarasinya mengantarkan saya pada temuan risalahnya yang berjudul Al-Thurfah Al-Gharibah Al-’Ajibah (Anekdot Garib yang Menakjubkan).

Disebut garib karena memang cerita dari Hadlramaut ini cukup ganjil dan aneh. Sekadar contoh, dari Abu Buraik, Al-Maqrizi mengisahkan bahwa lembah Syibwah di Hadlramaut terdapat kuburan seseorang yang tingginya sampai 13 dzira (sekitar 6,5 meter) seperti redaksi di bawah ini:

Deklarasi pada baris terakhir: naskah Al-Thurfah Al-Gharibah rampung dan divalidasi oleh pengarang kitab sendiri, yaitu Al-Maqrizi pada bulan Dzulqa’dah tahun 841 H.

Taqiyy Al-Din Al-Maqrizi, sejarawan asal Mesir ini mengunjungi Mekah pada tahun 839 H. dan bertemu orang saleh cum ahli ibadah asal Hadlramaut bernama Abu Buraik. Dua tahun kemudian (841 H.), pasca perjumpaannya dengan Abu Buraik itulah Al-Maqrizi menulis risalah kecil tersebut.

Siapakah Abu Buraik yang ditemuinya di Mekah?

Pada kitab awal, yaitu Durar Al-’Uqud Al-Faridah (Juz II, hlm. 336), Al-Maqrizi menuliskan biografi singkat tentangnya; ia bernama Abd-Allah ibn Muhammad ibn Abd Al-Rahman ibn Salim ibn Buraik Al-Hadlrami, dari kabilah Bani Saif dan Bani Syanawi, dan lahir di Hadlramaut pada tanggal 7 Ramadan 711 H.

Artinya, saat bertemu dengannya pada tahun 839 H., Abu Buraik sudah berumur 128 tahun (Ali Al-Sakran berumur 20 tahun waktu itu). Dan saat Al-Thurfah Al-Gharibah Al-’Ajibah ditulis pada tahun 841 H., Ali Al-Sakran baru berumur 23 tahun.

Apa yang dikisahkan Abu Buraik (dan relevan dengan Baalawi abad kedelapan)?

Salah satu hikayat Hadlramaut yang dikisahkah kepada Al-Maqrizi

Abu Barik berkata, seorang wali yang bernama Syaikh Ibrahim ibn Syaikh Abd Al-Rahman ibn Muhammad Al-’Alawi, dari kabilah yang disebut Abu Alawi dari “Barat Hadlramaut”, sedang duduk bersama saudaranya Syaikh Umar ibn Abd Al-Rahman Al-Ba’alawi, bahwa….

Dari reportase tersebut nama“Abu Alawi” sudah dikenal sebagai sebuah kabilah di Hadlramaut, atribusi “Al-Alawi” untuk Ibrahim sebagai penanda kabilah Baalawi ialah keturunan biologis Imam Ali, dan “Al-Ba’alawi” sebagai atribusi bagaimana kabilah ini diberi julukan (laqab).

Permasalahan ada pada redaksi:

عرب حضرموت

Pada naskah yang divalidasi Al-Maqrizi (A) tertulis tanpa titik (عرب), sedangkan pada naskah berbeda (B) tertulis dengan titik (غرب), dan keduanya akan mendatangkan kesimpulan berbeda. Naskah-A berarti “Orang Arab Hadlramaut” dan Naskah-B berarti “Barat Hadlramaut” yang secara geografis mengindikasikan kota bernama Tarim.

Perlu diketahui, pada naskah yang divalidasi Al-Maqrizi sekalipun, saqt naskh (keliru tulis) yang tidak memperhatikan titik terdapat pada banyak redaksi. Seperti dalam empat baris mukadimahnya, terdapat delapan kata yang tidak memperhatikan titik (saqt naskh).

Terdapat delapa kata yang saqt naskh pada mukadimah. Sekaligus Al-Maqrizi, pada redaksi tersebut, mendeklarasikan risalah ini bersumber dari orang yang bisa dipercaya asal Hadlramaut yang ia temui di Mekah pada tahun 839 H.

Kemuskilan saqt naskh ini akan mudah teratasi jika Pembaca memiliki dzauq yang bagus, sambil mengomparasikan informasi Abu Buraik dengan sejarawan lain yang sezaman dengannya atau yang lebih tua, semisal Al-Khatib dalam Al-Jauhar Al-Syafaf.

Kitab Al-Jauhar Al-Syafaf ditulis pada tahun 820 H., artinya kala Ali Ali Al-Sakran berumur dua tahun. Dan saat memberikan tarajim tentang Umar ibn Abd Al-Rahman Al-Ba’alawi yang direportase Abu Buraik, ia adalah orang terkenal asal Tarim yang mendirikan masjid terbesar di masanya. Ia dikenal sebagai Umar Al-Muhdlar, dan masjid yang ia dirikan bernama Masjid Al-Mihdlar.

Begitupun Ibrahim ibn Abd Al-Rahman ibn “Muhammad Al-Alawi” yang direportase Abu Buraik, adalah cucu dari “Muhammad Maula Dawileh” sekaligus paman dari Ali Al-Sakran yang tingal di Tarim.

Agak muskil jika Naskah-A dimaknai selain “kabilah Aba Alawi asal Barat Hadlramaut” karena secara geografis Tarim adalah lokasi yang dimaksudkan berdasarkan komparasi sumber yang sezaman dengan Abu Buraik.

Kala redaksi “Al-Alawi” tidak dimaknai sebagai atribusi keturunan Imam Ali pun, ia akan menghadapi tantangan dari sumber sezaman Abu Buraik, yaitu Al-Janadi (w. 732 H.) yang mereportase tujuh orang Baalawi sebagai bagian dari komunitas Abu Alawi yang dikenal penduduk Yaman sebagai asyraf asal Hadlramaut, dan memiliki kekerabatan biologis dengan Ali Bin Jadid yang silsilahnya ditulis sampai Abd Allah ibn Ahmad Al-Muhajir ibn Isa Al-Rumi.

Seperti “ketentuan” dalam Thurfat Al-Ashab fi Ma’rifat Al-Ansab yang dikarang Sultan Dinasti Rasuli Umar Bin Rasul (w. 696 H.), disebut alawi karena memiliki hubungan biologis dari Imam Ali, dan disebut syarif jika alawiyin tersebut berasal dari keturunan istrinya yang bernama Sayidah Fathimah binti Rasulillah Saw.

Kaidahnya ialah “hukm al-hakim yarfa’ al-khilaf”, bahwa ketentuan hakim menghapus segala perbedaan.

Kendatipun tidak semua syarif menunjukkan ia adalah alawiyin-biologis dari Sayidah Fathimah, tapi semua alawiyin-biologis dari jalur Sayidah Fathimah pasti syarif. Dan kala tiga pakar sezaman tersebut mengatribusi kabilah Baalawi sebagai alawiyin dan syarif sekaligus, maka indikasi Baalawi adalah keturunan Imam Ali secara biologis sudah naik level menjadi indikasi yang konklusif (dlaruri).

Hal yang sama seperti “Gus” yang dipakai masa-masa sekarang. Semua kreator konten yang membicarakan kitab kuning tanpa validasi apapun bisa dipanggil “Gus” oleh netizen. Berceramah di panggung-panggung umat nahdliyin bisa langsung dipanggil “Gus”. Padahal, “Gus” memiliki makna spesifik sebagai anak dari kiai yang memiliki pesantren, sementara kreator konten dan penceramah tersebut belum tentu anak dari kiai yang memiliki pesantren.

Kendatipun demikian, meski semua orang bisa dipanggil “Gus” dan tidak harus keturunan biologis kiai yang memiliki pesantren, akan tetapi semua anak kiai yang memiliki pesan sudah pasti diatribusi “Gus”.

Gus belum tentu anak kiai. Tapi anak kiai sudah pasti Gus.

Klaim bahwa Ali Al-Sakran ialah orang pertama yang memperkenalkan kabilahnya sebagai keturunan Rasul patut diduga berasal dari telaah yang sembrono, karena generasi sebelum Ali Al-Sakran sudah mereportase ke-sadah-an Baalawi sebelum ia balig. Bahkan untuk nama datuknya, generasi sebelum Ali Al-Sakran sudah mereportase nama lainnya sebagai “Ubaidillah”. Baik “Abdullah” dan “Ubaidillah” ialah orang yang sama, yang menurunkan Alawi, Jadid, dan Bashri.

Saat Ali Al-Sakran mengatakan kabilahnya dikenal sebagai asyraf di seantero Yaman, maka ia memiliki sandaran yang sahih dalam klaim. Dan penulis mengira pembacaan yang cukup tenang akan mampu memahaminya dengan baik.

Tulisan ini didukung oleh fundraiser TrakTeer: Rumail Abbas (klik)

--

--

Rumail Abbas

Nahdliyin, Historian, GUSDURian, Peneliti Budaya Pesisiran & Resolusi Konflik untuk GUSDURian & Yayasan Rumah Kartini