Syarif, Alawi, dan Hasani-Husaini: Benarkah Memiliki Makna Genealogi?

Ketiga atribusi tersebut kerap disandarkan pada keturunan Rasul

Rumail Abbas
7 min readDec 25, 2023
Sejarawan muslim modern mengidentifikasi pengaitan nasab seseorang pada Baginda Nabi lewat Imam Husain ibn Ali ibn Abi Thalib dengan atribusi “Al-Husaini”

Mari kita mulai dari definisi “alawi” yang dijelaskan jami’ & mani’-nya dari seorang pakar nasab abad keenam hijriyah, yaitu Ibn Funduq (w. 565 H.) dalam Lubab Al-Ansab (hlm. 193):

Penisbatan untuk Imam Ali ibn Abi Thalib disebut “alwi”, sedangkan penisbatan untuk Ali ibn Kinanah ibn Bakr disebut “aliyyun”.

Sebagian sastrawan Arab (tentu saja abad kelima-keenam hijriyah), menurut Ibn Funduq memakai alawi dengan mekanisme i’lal pada lam fi’il-nya aliyyun dengan memindahkan wawu ke posisi ya’ sehingga jadilah alawi (dengan mem-fathah huruf lam).

Kemudian, untuk penisbatan syarif, ahli nasab sekaligus Sultan Dinasti Rasuli Umar ibn Yusuf ibn Rasul (w. 696 H.) dalam Thurfat Al-Ashab fi Ma’rifat Al-Ansab (hlm. 93 versi cetak modern) memberikan kriteria spesifik pemakaiannya.

Naskah Thurfat Al-Ashab karya Sultan Umar ibn Yusuf ibn Rasul

Sebutan Syarif, secara mutlak, tidak dinisbatkan kepada seluruh keturunan Imam Ali ibn Abi Thalib, namun hanya teruntuk keturunannya dari garis Sayidah Fathimah binti Rasulillah, yaitu Imam Hasan dan Imam Husain. Selain dari keduanya, sebutannya ialah alawiyin, bukan asyraf.

Kendatipun atribusi syarif dipakai Sultan Yaman untuk identifikasi seluruh nama yang ia tulis seluruhnya di dalam Thurfat Al-Ashab, namun patut diduga hal tersebut berangkat dari kebiasan lidah orang Yaman (termasuk Arab pada umumnya) di masanya, dan kulminasi masa-masa sebelum itu.

Pada perkembangannya, sebutan spesifik dari syarif kerap ditambahi Al-Hasani atau Al-Husaini untuk diferensiasi antara dua anak Sayidah Fathimah, yaitu Imam Hasan dan Imam Husain.

Sekadar contoh, Imam Musa Al-Kadzim kerap disebut:

“Al-Syarif Al-Imam Musa Al-Kadzim Al-Husaini”

Hal ini menunjukkan bahwa tokoh yang bernama Musa ialah keturunan Imam Ali dari Sayidah Fathimah lewat putranya yang bernama Imam Husain.

Tepat di sini, menurut pakar (termasuk sastrawan Arab abad kelima-keenam hijriyah), kedua atribusi tersebut berlaku spesifik dan peruntukannya tidak sembarangan, sekaligus menjadi parameter bahwa seperti itulah kebiasaan lidah orang Arab sebelum abad ketujuh Hijriyah.

Pertanyaannya: apakah masyarakat umum di masa itu melakukan hal yang sama (atau minimal kaum terpelajarnya)?

Penulis merasa yakin bahwa masyarakat umum tidak meninggalkan bukti materiel yang bisa diakses di masa sekarang untuk membuktikan fakta historis tersebut, kecuali ia terpelajar dan meninggalkan catatan. Maka, cara terbaik untuk mendapatkan akurasi pendapat pakar di atas ialah catatan personal yang tertinggal di masa sekarang dari torehan para intelektual di masa lalu.

Mari penulis antarkan…

Pada naskah yang diproduksi tahun 500-an Hijriyah, penulis mendapatkan transmisi ijazah Sunan Imam Abi Dawud (w. 275 H.) kepada Abi Ali Muhammad Al-Lu’lu’i kepada Al-Syarif Abi Umar Al-Qasim ibn Ja’far Al-Hasyimi Al-Bashri (w. 322-414 H.).

Juz IV dari Kitab sunan Abi Dawud. Transmisi kedua ialah Al-Syarif Abi Umar Al-Qasim ibn Ja’far Al-Hasyimi Al-Bashri

Dalam enskiklopedia tarajim, Abu Umar Al-Qasim dikenal sebagai perawi Sunan Abi Dawud yang genealoginya bukanlah kepada Imam Ali ibn Abi Thalib, namun dari trah Bani Hasyim.

Artinya, pada tahun 300–400an hijriyah atribusi syarif belum spesifik dipergunakan untuk keturunan Imam Ali, namun dipergunakan pula untuk mengatribusi keturunan Bani Hasyim.

Kemudian, pada naskah abad keenam hijriyah, ketika mengatribusi musnid pertama yaitu Imam Muhammad ibn Idris yang dikenal dengan pendiri mazhab Imam Al-Syafi’i (w. 204 H.), lewat transmisi Ahmad ibn Thariq ibn Sinan (lahir 586 H.), Imam Syafi’i diatribusi sebagai: Al-Syarif Al-Muthallibi.

Musnad dari Al-Imam Al-Syarif Al-Muthallibi Abi Abdillah Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i yang dikenal sebagai pendiri mazhab Syafi’i

Ini artinya, pada masa yang sezaman dengan Ibn Funduq (w. 565 H.), atribusi syarif belum spesifik dipergunakan untuk keturunan Imam Ali, namun bersifat umum pula dipergunakan untuk mengatribusi trah Bani Muthallib (secara patrilineal, Imam Syafi’i memang keturunan Bani Muthallib lempang laki-laki).

Pertanyaannya: pada abad tersebut, Bani Hasyim dan Bani Muthallib diatribusi sebagai syarif, namun bagaimana dengan keturunan Imam Ali?

Berikut adalah sima’an hadis yang dilakukan pada tahun 450 H. kepada Al-Syarif Ali ibn Muhammad ibn Ali Al-Alawi (w. 433 H.).

Naskah sima’an tahun 450 H.

Kelak, banyak tarajim abad belakangan mengatribusi Al-Syarif Ali ibn Muhammad ibn Ali Al-Alawi dengan Al-Husaini, Al-Zaidi, dan Al-Harrani sebagai identifikasi lain dan diferensiasi. Hal ini untuk menunjukkan bahwa ia adalah zuriah Imam Ali lewat Imam Husain, dan bermazhab Syiah Zaidiyah (untuk menepis ia adalah Ali dari keturunan Imam Hasan, atau Ali yang bermazhab selain Syiah, atau Ali yang tempat asalnya selain Harran).

Pada naskah tahun 500-an hijriyah dari Shahih Muslim, indikasi sima’an yang dilakukan pada tahun 637 H. melewati Al-Syarif Abi Abdillah Muhammad ibn Abd Al-Rahman Al-Husaini (w. <637 H.).

Sima’an Shahih Muslim pada tahun 637 H. melewati Al-Syarif Abi Abdillah Muhammad ibn Abd Al-Rahman Al-Husaini (w. <637 H.)

Pada naskah tahun 617 H., dalam musnad yang sama dari Imam Al-Syafi’i, ia tak lagi diatribusi dengan syarif meskipun identifikasinya masih memakai Al-Muthallibi sebagai penegas ia keturunan Bani Muthallib. Dalam mata rantai ketiga setelah Imam Syafi’i, perawinya diatribusi dengan Al-Syarif Al-Alawi, yaitu Al-Syarif Abi Al-Qasim Al-Maimun ibn Hamzah Al-Alawi (w. tt).

Juz IV Sunan Al-Ma’tsurah Abi Abdillah Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i Al-Muthallibi. Transmisi ketiga ialah Al-Syarif Abi Al-Qasim Al-Maimun ibn Hamzah Al-Alawi

Dalam tarajim-nya di masa belakangan, diketahui bahwa Abi Al-Qasim Maimun ibn Hamzah adalah Al-Husaini, yang berarti ia keturunan Imam Ali lewat Imam Husain. Penyematan tersebut patut diduga karena di zaman yang sama terdapat dua tokoh (atau lebih) yang memiliki nama dan julukan yang mirip.

Maka, penyematan Al-Alawi untuknya ialah menghindari tokoh ahli hadis di masa itu yang bernama sama, yaitu Abi Al-Qasim ibn Hamzah (lahir 340 H.) dari kabilah Al-Sahmi yang merupakan kabilah sahabat Baginda Nabi bernama Hisyam ibn Al-’Ash ibn Wa’il Al-Sahmi.

Dan penyematan Al-Husaini patut diduga pula karena kemiripan dengan tokoh ahli hadis lain bernama Abi Qasim ibn Hamzah ibn Muhammad Al-Akbar yang secara genealogi merupakan keturunan Imam Hasan, yang berarti ia adalah Al-Hasani.

Berdasarkan dugaan tersebut, hipotesa penulis ialah: sebelum abad kelima hijriyah penyematan syarif memang belum matang diperuntukkan kepada keturunan Imam Ali (lewat Sayidah Fathimah) secara mutlak.

Meskipun penulis mendapati banyak bukti materiel pada sebelum abad kelima kecenderungan para intelektual di masa itu lebih sering mengatribusi Al-Alawi saja (tanpa syarif), namun masa-masa setelahnya diferensiasi syarif-alawi-hasani-husaini baru disematkan secara semarak karena terjadi iltibas dan kemiripan dengan tokoh lain.’

Mari kita lanjut…

Naskah yang diproduksi tahun 589 H. terdapat isnad Sunan Turmudzi dari Al-Syarif Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Jadid Al-Husaini (w. 620 H.) kepada Hasan ibn Rasyid Al-Hadlrami (w. 638 H.) kepada Al-Syarif Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Jadid Al-Husaini (w. >630 H.)

Ijazah Kitab Sunan Tirmidzi yang diproduksi tahun 589 H.

Naskah ijazah dan isnad tersebut memang penulis dapatkan dalam keadaan buram. Hanyasaja, dengan teknologi Affinity Designer (2022) penulis dapat menaikkan tingkah pencahayaan dan kontras untuk bisa dibaca dengan cukup jelas seperti di bawah ini…

Pada naskah tahun >481 H. terdapat rangkaian isnad dari Haitsam ibn Kalib (w. >481 H.) yang didapatkan secara qira’ah pada tahun 481 H. dari Al-Hasan ibn Muhammad Al-’Allal, dari kakeknya Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad Al-Alawi (w. <490 H.) di Bashrah, dari pamannya Abdullah ibn Ahmad Al-Abah ibn Isa Al-Alawi Nazil Al-Yaman (w. 383 H.).

Pada tarajim abad belakangan, Abdullah tersebut dikenal dengan nazil al-yaman (imigran yang menetap di Yaman) dan kelak melahirkan Alwi yang menurunkan kabilah Baalawi di seluruh dunia.

A. Ijazah Sunan Turmudzi Muhammad ibn Ali ibn Jadid; B. Isnad hadis Imam Haitsam ibn Kalib (w. <481 H.) dari Muhammad Al-’Allal (w. <490 H.) yang tertera pada naskah Kitab Arba’in yang diproduksi tahun >481 H.

Kesimpulannya…

Kendatipun pada masa-masa itu atribusi syarif-alawi-hasani-husaini tidak mutlak trah keturunan Imam Ali dari Sayidah Fathimah, namun penulis memiliki analogi mudah untuk menunjukkan bagaimana ia berkembang dan dipakai berdasarkan banyak bukti materiel yang penulis miliki.

Sama seperti “Gus” yang awal-awal dimaknai sebagai anak dari kiai yang memimpin pesantren, atribusi tersebut mengalami pergeseran dan disematkan kepada kreator yang mengunggah konten keislaman khas pesantren. Akhirnya, “Gus” tidak lagi mutlak menunjukkan seseorang adalah keturunan anak kiai atau bukan.

Kendatipun demikian, meski semua kreator konten keislaman pesantren bisa dipanggil “Gus” dan tidak harus keturunan biologis kiai yang memiliki pesantren, akan tetapi semua anak kiai yang memiliki pesantren sudah pasti diatribusi “Gus”.

Begitu pula syarif-alawi-hasani-husaini, kendatipun tidak semua orang yang dipanggil seperti itu menunjukkan genealoginya kepada Imam Ali secara mutlak, akan tetapi semua keturunan Imam Ali sudah pasti syarif-alawi-hasani-husaini.

Itulah kenapa, dalam studi kasus pembatalan nasab kabilah Thabari, salah satu postulat historis yang dipakai Sayid Ibrahim ibn Manshur Al-Hasyimi Al-Amir dalam Al-Ifadlah (hlm. 56–63) ialah reportase Muhammad Al-Syaibi Al-Makki yang tidak menyebut “Sayid” atau “Syarif” untuk kadi Haromain Syaikh Ahmad ibn Abi Bakr Al-Thabari dari klan Thabariyah.

Kabilah Thabariyah bukanlah keturunan Baginda Nabi, karena silsilah Syaikh Ahmad ibn Abi Bakr Al-Thabari menurut Muhammad Al-Syaibi Al-Makki bukanlah lempang laki-laki ke Sayidina Ali, dan tidak pula dia dipanggil “Sayid Ahmad” atau “Syarif Ahmad” di masa itu.

Meskipun tidak berlaku mutlak bahwa seseorang merupakan keturunan Imam Ali jika diatribusi syarif-alawi-hasani-husaini, akan tetapi atribusi tersebut tetap memiliki arti yang layak diperhatikan peneliti nasab. Untuk hal tersebut, penulis mengusulkan analisa kasus per kasus.

Tulisan ini didukung oleh fundraiser TrakTeer: Rumail Abbas (klik)

--

--

Rumail Abbas

Nahdliyin, Historian, GUSDURian, Peneliti Budaya Pesisiran & Resolusi Konflik untuk GUSDURian & Yayasan Rumah Kartini