Baalawi Bukan “Syarif”?

Telaah informasi abad kedelapan-kesembilan Hijriyah

Rumail Abbas
8 min readDec 27, 2023
Kafilah di sebuah gurun: Photo by Inbal Malca on Unsplash

Saya, beberapa waktu lalu, berdialog lewat WhasApp dengan dua orang yang dikenal sebagai spektator yang cukup skeptis dengan historiografi Baalawi. Keduanya adalah bahits (peneliti) yang boleh dibilang memiliki posisi seperti penulis produktif asal Banten yang membatalkan genealogi Baalawi, yang menerbitkan tulisan terbaru berjudul “Membongkar Gus Rumail: ‘Arobi’ Bukan ‘Garbi’” (24 Desember 2023).

Dalam percakapan tersebut, saya bertanya tentang istiqra’ keduanya: kenapa atribusi syarif untuk Baalawi di abad kedelapan-kesembilan hijriyah tidak bisa dipahami sebagai sadah (secara spesifik berarti untuk keturunan Rasul)?

Latar belakangnya ialah: saya memiliki teori bahwa atribusi syarif untuk Baalawi pada abad kedelapan-kesembilan berlaku spesifik dan memiliki indikasi kuat bermakna sadah, seperti yang tertuang dalam dua tulisan sebelumnya (“Melihat Baalawi pada Abad Kedelapan Hijriyah” dan “Syarif, Alawi, dan Hasani-Husaini: Benarkah Memiliki Makna Genealogi?”).

Namun, kedua bahits tersebut tidak sepakat dengan dua tulisan saya karena dua teori pembanding, yang secara ringkas dapat saya tuliskan berikut:

Pertama, reportase Abu Buraik (lahir 711 H.) yang dihikayatkan Al-Maqrizi pada tahun 841 H. memakai redaksi “Arab Hadlramaut” untuk kabilah Baalawi (yang berarti orang Arab biasa yang tinggal di Hadlramaut), dan tidak ada keterangan sharih bahwa mereka adalah keturunan Rasul (pengantar tentang saqt naskh titik pada redaksi tersebut sudah saya tuangkan dalam judul “Melihat Baalawi” di atas),

Kedua, Umar Baalawi dan Ibrahim Baalawi yang direportase Abu Buraik memakai atribusi “Syaikh”, kemudian “Alawi” yang disematkan kepada keduanya masih muhtamal (rancu) untuk diyakini sebagai atribusi keturunan Imam Ali ibn Abi Thalib.

Kepada dua spektator tersebut, saya mengusulkan komparasi sumber sezaman dengan peristiwa terjadi untuk merekam kebiasaan warga setempat dalam pemakaian syarif dan alawi untuk Baalawi. Karena dengan menelaah redaksi Abu Buraik semata, tanpa melakukan komparasi dengan sumber sezaman lainnya, patut diyakini keduanya memiliki masalah dalam metodologi.

Usulan tersebut untuk menjawab sebuah pertanyaan penting: kenapa komparasi sumber lain (namun sezaman atau mendekati) ini penting untuk memahami sadah-tidaknya Baalawi pada abad kedelapan-kesembilan?

Saya masih memegang teguh kaidah murad al-kalam ‘ala ‘urf al-mukhatib, pemahaman dari sebuah omongan harus didasarkan pada “kebiasaan” orang yang ngomong tersebut. Maksudnya, dengan komparasi sumber sezaman yang beragam, seorang peneliti akan memahami “kebiasaan lidah orang Arab” kala mengatribusi Baalwi dengan syarif dan alawi berdasarkan orang-orang di masanya langsung.

Kenapa harus dengan melakukan itu?

Saya memakai kaidah berpikir al-muthlaq yajri ‘ala ithlaqihi ma lam yaqum dalil al-taqyid nashshan aw dalalatan (mutlak tetaplah mutlak selama tidak ada dalil yang membatasinya [qayid], baik [dalil tersebut] konklusif maupun indikatif).

Syarif dan alawi tidak berlaku mutlak, oleh karenanya tidak dapat dipakai sembarangan bagi siapa saja. Dan keduanya memiliki maknanya sendiri karena memiliki batasan (qayid), dan lewat qayid inilah peneliti memahami secara spesifik apa maksudnya.

Dengan komparasi sumber sezaman yang sangat beragam, peneliti akan mengumpulkan qayid-qayid tersebut supaya diantarkan sumber bacaannya kepada: apakah bermakna keturunan Baginda Nabi ketika diucapkan, ataukah selain itu?

Bukankah kita sedang mencari “maksud ucapan orang Arab” di balik pengucapan syarif dan alawi untuk Baalawi pada abad kedelapan-kesembilan dari lidah mereka langsung?

Al-Janadi (w. 732 H.)

Di dalam Al-Suluk fi Thabaqat Al-Ulama wa Al-Mulk, ia menyebut Ali Bin Jadid sebagai “Trah Abu Alawi”, kabilah asal Hadlramaut yang dikenal sebagai asyraf (plural dari syarif).

Ia dikenal sebagai Syarif Abu Jadid di mata penduduk Yaman. Ia berasal dari Hadlramaut, dari “asyraf” (para syarif) yang dikenal dengan “Trah Abu Alawi” di sana. (Juz II, hlm. 136)

Apakah kata syarif untuk Ali Bin Jadid bersifat mutlak, yang berarti “mas-mas syarif biasa”?

Tentu saja tidak, karena syarif (singular) di sini bermakna spesifik sebagai zuriah Baginda Nabi lewat reportase silsilah biologisnya sampai kepada: Jadid ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn Ja’far Al-Shadiq ibn Muhammad Al-Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib (Juz II, hlm. 135-6).

Artinya, reportase Al-Janadi memberikan batasan (qayyid) yang konklusif (nash) untuk mengetahui secara spesifik bahwa kebiasaan orang Yaman di masa itu kala menyebut “Syarif Ali Bin Jadid” berarti ia adalah zuriah biologis Baginda Nabi.

Kemudian, apakah kata asyraf (plural dari syarif) untuk kabilah “Trah Abu Alawi” bersifat mutlak, yang berarti “kabilah-kabilah asyraf biasa”?

Tentu saja tidak, karena redaksi Al-Janadi untuk Trah Abu Alawi ialah “asyraf hunalik (komunitas para keturunan Baginda Nabi dari Hadlramaut)” yang bermakna spesifik (qayyid) sebagai kabilah biologis zuriah Baginda Nabi lewat silsilah Ali Bin Jadid yang ditulis sendiri oleh Al-Janadi dalam kitab yang sama (nash).

Lanjut…

Tokoh-tokoh lain dari Baalawi (yang merupakan kabilah dari Trah Abu Alawi) ialah tujuh orang yang tak disebutkan lengkap silsilahnya (hanya dua-tiga ayah ke atas).

Trah Abu Alawi sudah disebutkan sebagiannya pada reportase Abu Jadid sebagai intelektual dari Ta’iz. Mereka (Trah Abu Alawi) adalah keluarga saleh, sufi, dan bernasab mulia, dimana termasuk di dalam Trah Abu Alawi ialah…(kemudian tujuh Baalawi disebut tanpa silsilah lengkap pada Juz II, hlm. 463)

Pertanyan selanjutnya, jika Trah Abu Alawi ialah kabilah biologis zuriah Baginda Nabi, apakah redaksi tersebut bisa dimaknai “Baalawi adalah kabilah biologis zuriah Baginda Nabi karena termasuk Trah Abu Alawi”?

Untuk sebuah wilayah yang penduduknya dikenal berdasarkan genealogi patrilineal, bahkan pemilik anak perempuan disebut minats (tidak dianggap berketurunan), menginsinuasi Baalawi sebagai “kabilah menantu” yang memakai nama Trah Abu Alawi adalah perkiraan yang tidak berdasar.

Khalil Ibrahim Al-Dalimi, dalam Durus fi ‘Ilm Al-Ansab menggambarkan tradisi genealogi patrilineal orang Arab dari masa ke masa, bahwa minats ialah kategori seseorang yang hanya memiliki keturunan perempuan saja atau punya anak lelaki namun tidak berketurunan (hlm. 56).

Itulah kenapa dalam pencatatan kitab nasab, sampel nama yang mi’nats akan dianggap inqiradl (tidak berketurunan), dan meskipun berketurunan maka penisbatan keturunan dari anak perempuannya berpindah kepada menantunya.

Dari kebiasaan (‘urf) dan tradisi orang Arab tersebut, menantu lelaki tidak akan pernah bisa bernisbat kepada kabilah istrinya, dan keturunan dari anak perempuan hanya dinisbatkan kepada kabilah suaminya (yang berarti anak dari anak perempuan itu akan bernisbat kepada ayah kandungnya [menantu], bukan dinisbatkan kepada kakek dari ibunya).

Dari sini kita memahami, kendatipun tidak dituliskan silsilah lengkapnya, ketujuh Baalawi yang direportase Al-Janadi dapat dipahami sebagai kabilah biologis zuriah Baginda Nabi karena “bagian (tab’idl) dari Trah Abu Alawi”, dan tidak mungkin keturunan non-lelaki dan non-biologis dimasukkan ke dalam “trah” berdasarkan ‘urf di atas.

Selain tradisi (‘urf) tersebut, kaidah yang memperkuatnya ialah al-ashlu fi al-alfadz al-haqiqah ‘inda al-ithlaq fala tuhmalu ‘ala al-majaz illa bidalil (hukum asal dari sebuah redaksi hakiki yang diucapkan secara mutlak ialah seperti hakikatnya, maka tidak bisa dimaknai sebaliknya kecuali mendatangkan argumen).

Makna hakikat dari “Trah Abu Alawi” ialah zuriah Abu Alawi. Disebut zuriah karena menjadi keturunan biologis lempang laki-laki ke bawah. Dan ketika “Trah Abu Alawi” secara hakikat berarti kabilah biologis keturunan Baginda Nabi, maka kabilah-biologis yang bercabang darinya adalah zuriah Baginda Nabi pula.

Tentu saja ada kemungkinan Baalawi bukanlah trah-biologis dari Abu Alawi. Kendati demikian, harus dijelaskan dengan dalil.

Abu Buraik (711 s/d >839 H.)

Taruhlah reportase Al-Janadi tidak bisa menjadi qayid indikatif bahwa Baalawi ialah trah-biologis Abu Alawi, saya masih mengajak pembaca untuk mencari reportase sezaman, yaitu dari Abu Buraik.

Saat Al-Janadi wafat pada tahun 732 H., ia berusia 21 tahun. Tentu saja ia sezaman (mu’ashir) dengan Al-Janadi (baca: hidup dalam waktu yang bersamaan), kendatipun tidak diketahui apakah pernah bertemu dengannya atau tidak (tahaqquq al-liqa’).

Pada tahun 839 H., saat ia berusia 128 tahun, ia bertemu Al-Maqrizi (w. 845 H.) untuk mengambil ijazah Shahih Muslim dan kitab-kitab tasawuf saat keduanya bertemu di Mekah (Durar Al-’Uqud Al-Faridah, hlm. 336).

Al-Maqrizi melaporkan, dari Abu Buraik ia mengompilasi beberapa hikayat ganjil yang menakjubkan dari lembah Hadlramaut yang kelak ia beri judul Al-Thurfah Al-Gharibah (ibid., hlm. 337)

Dalam kitab tersebut, Abu Buraik menyebutkan satu kisah dari Hadlramaut yang melibatkan dua orang Baalawi: Ibrahim ibn Abd Al-Rahman ibn Muhammad, dikenal sebagai alawiyin dari “Trah Abu Alawi”; dan saudaranya, Umar ibn Abd Al-Rahman yang diatribusi dengan “Baalawi”.

Ibrahim ibn Syaikh Abd Al-Rahman ibn Muhammad Al-Alawi dan Umar ibn Abd Al-Rahman Al-Ba’alawi dalam naskah Al-Thurfah Al-Gharibah

Tentu saja Ibrahim Baalawi dan Umar Baalawi itu satu garis keturunan karena kakak-beradik biologis. Oleh karenanya, berdasarkan reportase tersebut, keduanya sama-sama Baalawi dan sama-sama alawi.

Dari reportase dua sejarawan sezaman ini (Al-Janadi dan Abu Buraik), saya bisa mengompilasi tiga macam pemahaman:

Pertama, Baalawi adalah sebuah kabilah yang dikenal penduduk Hadlramaut sebagai “Trah Abu Alawi” yang asyraf (keturunan Rasul semua), namun masih muhtamal karena tidak ada pencantuman silsilah lengkap seperti Ali Bin Jadid,

Kedua, Ibrahim Baalawi dan Umar Baalawi mendapati Abu Buraik lewat indikasi “wa akhbarani al-faqir Ibrahim… (dan Ibrahim mengabariku…)”, yang berarti keduanya adalah tokoh historis dan faktual lewat pertemuan dengan orang sezaman (tahaqquq al-liqa’),

Ketiga, Ibrahim Baalawi dan Umar Baalawi harus hidup sebelum 839 H., tahun dimana Abu Buraik menceritakatan keduanya kepada Al-Maqrizi di Mekah.

Pertanyaannya: siapakah mereka yang harus hidup sebelum hidup 839 H.?

Al-Syarji (812–893 H.)

Ia sejarawan yang berumur 27 tahun ketika Abu Buraik pergi ke Mekah pada tahun 839 H., dan ini artinya ia sezaman (mu’ashir) kendatipun tidak diketahui pernah bertemu atau tidak (tahaqquq al-liqa’). Namun yang pasti, Al-Syarji sezaman dengan Umar ibn Abd Al-Rahman Baalawi yang direportase Abu Barik kepada Al-Maqrizi.

Dalam Thabaqat Al-Khawwash, yang rampung ditulis ±867 H., ia memberikan dua informasi penting (hlm. 223):

Pertama, Umar ibn Abd Al-Rahman dia saksikan wafat pada usia 21 tahun, sekitar tahun 833 H. sebagai generasi sepuh Baalawi yang ia saksikan di masa mudanya. Informasi ini tidak kontradiksi dengan Abu Buraik, dan ia adalah Umar ibn Abd Al-Rahman yang sama yang ia dapati hidup sebelum tahun 839 H.

Dan generasi sepuh (yang masih hidup) dari Baalawi ialah Syaikh Umar ibn Abd Al-Rahman. Dikisahkan bahwa ia telah mendirikan 18 masjid. Adapun tahun wafatnya ialah 833 H.

Kedua, Baalawi merupakan kerabat sepupu dari kabilah Al-Ahdal.

Baalawi adalah keluarga ilmu dan kesalehan, dan dikabarkan bahwa mereka memiliki kedudukan di Hadlramaut. Mereka adalah “asyraf”, dan pada biografi Ali Al-Ahdal sebelumnya, mereka (Baalawi) adalah kerabat sepupunya dari segi nasab.

Ketiga, Baalawi adalah asyraf dengan qayid-konklusif sebagai keturunan Rasul berdasarkan redaksi berikut (hlm. 196):

Sesungguhnya Asyraf Al-Ahdal dan Baalawi bertemu (baca: leluhur bersama) pada Ja’far Al-Shadiq (ibn Muhammad Al-Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib). Dan inilah yang (pendapat) paling sahih, selesai!

Untuk diketahui, reportase Al-Syarji tidak berdasarkan manuskrip yang dimiliki siapapun di masa sekarang, karena ia hidup sezaman (mu’ashir) dengan Ali Al-Ahdal (w. 855 H.), dan bisa dibilang “manuskrip hidup” paling akurat dalam menukil Al-Ahdal.

Oleh karenanya, Umar ibn Abd Al-Rahman yang ia saksikan sewaktu muda, dan direportase Abu Buraik sebagai alawi memiliki makna spesifik (qayid) sebagai keturunan Imam Ali. Dan dengan demikian, Ibrahim ibn Abd Al-Rahman ibn Muhammad yang disebut sebagai saudara-biologis Umar adalah alawiyin yang sama.

Muhimmah

Berdasarkan reportase intelektual sezaman (mu’ashir) dan yang mendekati Al-Janadi, dapat dipastikan secara konklusif bahwa syarif dan alawi untuk Baalawi pada abad kedelapan-kesembilan bermakna spesifik, yaitu keturunan Baginda Nabi lewat Sayidah Fathimah, dan keturunan Imam Ali dari Imam Husain.

Perlu diingat, Al-Janadi wafat tahun 732 H. namun mendapati abad ketujuh. Reportasenya dalam Al-Suluk fi Thabaqat Al-Ulama wa Al-Mulk tentang Bin Jadid dan Baalawi, tentu saja, mewakili pengetahuan orang Yaman di masa ia hidup, yaitu 600-an Hijriyah.

Apakah tidak bisa dipahami bahwa kesahihan Baalawi pun menjadi pengetahuan di abad tersebut?

Kesimpulan

Mari kita ulang kaidah sebelumnya:

Murad al-kalam ‘ala ‘urf al-mukhatib, maksud dari sebuah kata syarif dan alawi untuk Baalawi pada abad kedelapan-kesembilan tidak bisa mutlak karena “lidah orang Arab” di masa itu memahaminya sebagai keturunan Baginda Nabi.

Keyakinan orang Yaman pada abad itu bahwa Baalawi merupakan zuriah Imam Husain ibn Ali ibn Thalib, sehingga penyebutan syarif dan alawi bermakna spesifik, adalah satu hal. Sementara isnad-sezaman untuk silsilah Baalawi dari abad sebelum itu sebagai zuriah Imam Husain adalah lain hal, yang tidak ada relevansinya dengan pemahaman syarif dan alawi di abad kedelapan-kesembilan.

Karena pada abad tersebut Baalawi dikenal sebagai keturunan Imam Ali dari Sayidah Fathimah!

Seharusnya seorang bahits fokus pada pelacakan abad sebelumnya, karena kemungkinan Baalawi-Bukan-Keturunan-Rasul tidak memiliki peluang di abad kedelapan-kesembilan.

Tulisan ini didukung oleh fundraiser TrakTeer: Rumail Abbas (klik)

--

--

Rumail Abbas

Nahdliyin, Historian, GUSDURian, Peneliti Budaya Pesisiran & Resolusi Konflik untuk GUSDURian & Yayasan Rumah Kartini